Kisah Intel Soeharto Perdayai Agen Uni Soviet KGB di Indonesia

BLITAR, iNews.id - Rezim Soekarno runtuh setelah Soeharto berhasil mengantongi surat perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang dia peroleh melalui dalih pemulihan keamanan nasional. Kekuasaan politik Bung Karno memang telah ambruk.
Namun KGB, dinas intelijen sipil Uni Soviet beserta jaringannya masih bercokol di Indonesia. Sekelompok orang terus bergerak. Di Jakarta dan beberapa kota besar lain, KGB bersama GRU, yakni dinas intelijen militer Soviet, tetap melakukan kerja-kerja senyap.
Mereka terus mencoba menyadap informasi rezim baru yang mendapat sokongan kuat dari Amerika Serikat. Bahkan pada awal rezim orde baru berkuasa, mereka berhasil menempatkan sejumlah petingginya di Indonesia.
"Mereka yakni 24 pejabat KGB dan GRU yang ditempatkan di Jakarta, Medan dan Surabaya sejak awal 70-an," kata Ken Conboy dalam buku “ Intel, Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia”.
Para agen asing tersebut selalu merasa lebih aman berada di lembaga resmi negara. Lembaga negara menjadi tempat paling strategius untuk berkamuflase, salah satunya Atase Kebudayaan.
Ken Conboy menyebut nama Boris Liapine, salah satu pejabat Atase Kebudayaan. Liapine merupakan agen KGB yang gerak geriknya dalam pantauan tim Satsus Intel (Satuan Khusus Intelijen).
Satsus Intel merupakan sebuah unit baru Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yang didirikan 16 November 1968. Pendirian Satsus Intel setelah adanya kunjungan Clarence “Ed” Barbier, salah seorang pejabat CIA (Central Intelligence Agency), agen intelijen Amerika Serikat.
Clarence Barbier yang kemudian bekerja di kedutaan merupakan Kepala Stasiun CIA yang khusus mengawasi hubungan dengan Bakin. Barbier tercatat sebagai intelijen angkatan laut pada Perang Dunia II yang memiliki keahlian bahasa Jepang.
Barbier juga pernah bergabung dalam marinir Amerika Serikat pada Perang Pasifik. Kunjungannya mendorong Kolonel Nicklany, Wakil Asisten Intelijen Kopkamtib menegaskan gagasan perlu adanya Satsus Intel .
Editor: Ihya Ulumuddin