Jejak Rapat Akbar PKI dan Masyumi di Alun-Alun Malang Tahun 1955
MALANG, iNews.id - Gerakan 30 September yang digalang Partai Komunis Indonesia (PKI) ternyata ekskalasi dari peristiwa - peristiwa sebelumnya. Jauh sebelum pemberontakan pada tahun 1965, di tahun 1950 saat itu tidak ada sekat ideologi antarpartai politik
Beberapa ideologi saat itu memang menjadi bagian dari beberapa partai politik, termasuk di antaranya PKI.
Sejarawan Malang Faishal Hilmy Maulida mengatakan, peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965 sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari suatu peristiwa saja. Ada beberapa rangkaian peristiwa yang akhirnya melatarbelakangi terjadinya gerakan 30 September 1965.
Salah satunya ketika kembali ke tahun 1950, di mana tidak ada sekat di antara partai-partai berdasarkan ideologi masing-masing.
"Meskipun antara Masyumi dan PKI secara ideologi ya beda, satu ideologi Islam moderat, satunya marxis Leninisme. Kemudian, kenapa PKI dan Masyumi itu bentrok karena mereka tidak berada dalam satu front yang sama. Logikanya perbedaan ideologi," ujar Faishal Hilmy Maulida.
Menurutnya, faktor ideologi bukanlah menjadi hal mutlak terjadinya pergesekan antarpartai politik di masa itu. Persoalan politis menjadi hal utama terlebih saat tahun-tahun politik di 1955, namun pergesekan menjadi unsur ideologi menjadi muara di tahun 1960-an.
"Tahun 60-an muara konfliknya sudah unsur ideologis. Apalagi pasca (pemberontakan) PRRI dan Masyumi diteguhkan, karena dianggap terlibat PRRI-Permesta. Artinya sudah nggak ada yang beku, sebelumnya ketika Pemilu '55 sampai '57 itu ada kubu Masyumi dan PSI," tuturnya.
"Kemudian ketika PKI leading pasca-Pemilu '57, dianggap sebagai ancaman bagi kelompok-kelompok poros tengah, terutama PNI. Kemudian NU dan Masyumi akhirnya ketika kekuatan kekuatan oposisi sudah berkurang yang ada di dalam gelanggang politik itu kan antara PNI," ucapnya.
Di Malang sendiri jauh sebelum PKI menjadi partai politik yang diperhitungkan, ada partai politik bernama Akoma yang berintegrasi dengan ideologi komunis. Partai ini salah satu tokohnya adalah Ibnu Parna yang merupakan pengikut Tan Malaka. Tetapi diakui Faishal tidak semua anggota Partai Akoma pro-PKI dan upaya-upaya yang dilakukannya.
"Jadi kalau tokoh-tokoh Malang, tokoh-tokoh kiri tapi tidak semua tokoh kiri pro-PKI. Bisa pro Murba, Akoma, keterkaitan dengan Madiun 48 nggak ada. Kalau ada tokoh-tokoh yang memang memiliki kaitan dengan orang-orang terlibat peristiwa itu ada jelas, karena Ibnu Parna sosok yang sangat kontra dengan Amir," katanya.
Menariknya dari catatan dosen di Binus University Malang ini, daerah Malang justru menjadi kantong-kantong suara PKI di Pemilu 1955. Roda partai berhasil menggerakkan kaum buruh dari pabrik gula, buruh transportasi dan buruh lainnya untuk bergerak.
Bahkan PKI pernah menjadi partai politik dengan mengumpulkan massa hingga mencapai 200.000 orang.
"Tidak heran kalau suara PKI di Malang di tahun 55 cukup besar dan diperhitungkan. Soal bertemunya Masyumi dan PKI rapat Akbar di Alun-Alun Kota Malang itu menjadi salah satu pertemuan akrab yang luar biasa besar. Padahal antara Masyumi dan PKI terjadi gesekan luar biasa besar saat itu," kata dosen sejarah ini.
Usai peristiwa berdarah di 30 September 1965, banyak simpatisan PKI di Malang yang juga turut menjadi korban. Mereka yang dituduh komunis dan dicap terlibat langsung dijatuhi hukuman.
"Di Malang usai Gerakan 30 September kemudian ada banyak orang-orang yang dituduh komunis dan dicap terlibat 30 September, kemudian dieksekusi dan diasingkan ke Pulau Buru (Ambon, Maluku)," ucapnya.
Tapi Faishal belum mengetahui persis catatan sejarahnya di titik mana saja lokasi eksekusi para simpatisan PKI di Malang. Hanya beberapa referensi dan cerita-cerita salah satu lokasi pembuangan jasad simpatisan PKI berada di Jurang Mayit, di Desa Srigonco, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang.
Editor: Donald Karouw