Bagaimana Hukum Ijab Qabul dalam Zakat? Berikut Penjelasannya

JAKARTA, iNews.id - Bagaimana hukum ijab qabul dalam zakat? Masih menjadi pertanyaan tersendiri di kalangan umat Islam. Lalu seperti apa hukumnya? Berikut penjelasannya.
Zakat merupakan ibadah yang dilakukan oleh seorang Muslim dengan jalan mengeluarkan sebagian porsi dari harta yang dimilikinya. Ada dua bentuk penyerahan zakat, yakni (1) kepada petugas amil zakat atau (2) kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq) secara langsung.
Dalam fiqih, untuk menandai telah terjadinya serah terima maka diperlukan sebuah lafadh ijab dan qabul. Jika dirunut dari hukum asalnya, sebenarnya fungsi dari ijab dan qabul sendiri adalah hanya sebagai wasilah yang menguatkan telah terjadinya akad sehingga terjadi perpindahan kepemilikan atau tanggung jawab.
Bila ijab dan qabul itu dikaitkan dengan pernikahan, maka begitu ijab dan qabul itu ditunaikan, maka secara tidak langsung tanggung jawab mengenai seorang anak perempuan yang sebelumnya menjadi tanggung jawab wali beralih menjadi tanggung jawab laki-laki yang menikahinya.
Dan bila ijab qabul itu dilakukan pada transaksi jual beli dan zakat, atau hibah dan wakaf, maka begitu ijab dan qabul itu selesai diucapkan, tanggung jawab kepemilikan barang pun beralih dari pemilik asal ke pihak yang diserahi, baik itu yang berperan selaku pembeli, penerima hadiah, atau penerima hak kelola wakaf.
Pada zakat, jika ijab qabul itu selesai ditunaikan, maka hak kepemilikan dan tasharruf (pengelolaan) zakat menjadi kewenangan dari pihak amil untuk disalurkan, atau menjadi hak milik dari mustahiq sehingga ia bebas menggunakannya.
Sebenarnya zakat sendiri dalam ketentuannya tidak ada keharusan ijab dan qabul. Ijab dan qabul baru wajib ada ketika pihak muzakki menyerahkan zakatnya itu lewat ‘amil atau wakil. Amil sendiri, kedudukannya adalah sama dengan wakil muzakki. Jadi, ijab qabul dalam zakat kepadanya, semata adalah karena akad wakalah (akad perwakilan) yang diambilnya.
Zakat dalam fiqih hanya fokus pada keharusan menyertakan niat saat menunaikan, dan penyalurannya kepada asnaf zakat yang berjumlah 8 itu (QS Al-Baqarah [9] ayat 60). Jadi, suatu misal ada seseorang membawa hartanya kepada salah satu dari 8 asnaf, kemudian ia mengatakan bahwa itu adalah zakatnya yang diberikan kepada asnaf tersebut maka harta yang disalurkannya itu sudah termasuk zakat.
Sementara itu, As-Suyuthi – ulama syafiiyah – dalam karyanya tentang kaidah fikih, Al-Asybah wa An-Nadzair, membagi beberapa akad muamalah berdasarkan ada tidaknya ijab qabul menjadi 5 bagian. Beliau mengatakan,
تقسيم ثالث من العقود ما لا يفتقر إلى الإيجاب ، والقبول لفظا . ومنها : ما يفتقر إلى الإيجاب والقبول لفظا . ومنها : ما يفتقر إلى الإيجاب لفظا ، ولا يفتقر إلى القبول لفظا . بل يكفي الفعل . ومنها : ما لا يفتقر إليه أصلا ، بل شرطه : عدم الرد ومنها : ما لا يرتد بالرد . فهذه خمسة أقسام
Pembagian yang ketiga dalam akad;
Akad yang tidak membutuhkan ijab qabul dengan dilafalkan
Akad yang membutuhkan ijab qabul dengan dilafalkan
Akad yang membutuhkan ijab dengan dilafalkan dan tidak membutuhkan qabul dengan dilafalkan, namun cukup tindakan.
Akad yang tidak membutuhkan ijab qabul sama sekali, bahkan syaratnya, tidak bisa dibatalkan
Akad yang tidak bisa kembali, meskipun dibatalkan.
Kemudian beliau menyebutkan contohnya masing-masing. Diantara contoh yang beliau sebutkan,
فالأول منه : الهدية ، فالصحيح أنه لا يشترط فيها الإيجاب والقبول لفظا ، بل يكفي البعث من المهدي ، والقبض من المهدى إليه… ومنه : الصدقة قال الرافعي : وهي كالهدية ، بلا فرق
Contoh yang pertama, hadiah. Pendapat yang benar, tidak disyaratkan adanya ijab qabul dengan dilafalkan. Namun cukup memberikan hadiah dari si pemberi, dan diterima oleh orang yang mendapatkannya… termasuk juga; sedekah. Ar-Rafii mengatakan, ‘Sedekah seperti hadiah, tidak ada perbedaan.’
Editor: Komaruddin Bagja