Penarikan pasukan karena di Bali juga sedang terjadi peperangan. Sawunggaling bersama istri dan putranya, Arya Bagus Narendra yang masih berusia balita mengungsi ke dalam Benteng Providencia .
Kadipaten Surabaya dikosongkan. Agar tidak dipakai pasukan Kompeni Belanda. Saat meninggalkan kota, seluruh rumah-rumah yang ada lebih dulu dibakari. Termasuk kediaman Sawunggaling juga tidak luput dihanguskan.
"Asap hitam mengepul di mana-mana. Surabaya menjadi karang abang (lautan api)," tulis Febricus Indri.
Tanggal 8 Maret 1723. Pasukan Kompeni masuk Surabaya melalui Sidoarjo. Saat yang sama, pasukan Kompeni lain yang datang dari arah Kadipaten Gresik, dan Gunungsari juga masuk Surabaya.
Mereka merangsek ke arah benteng Providencia , tempat pertahanan terakhir Sawunggaling. Di dalam benteng masih ada 800 orang pejuang laskar Sawunggaling yang siap bertempur sampai titik darah penghabisan. Perang yang tidak seimbang tersebut berlangsung sengit.
Pasukan Kompeni berhasil merangsek masuk sekaligus menewaskan Arya Suradireja. Dengan sisa pasukan yang ada, Sawunggaling terus melawan. Pistol di tangan kanannya tidak henti-henti menyalak.
Begitu juga dengan pedang di tangan kirinya tidak berhenti mengayun. Perlawanan Sawunggaling berakhir setelah peluru menembus lehernya dan bayonet dari segala arah menikami tubuhnya.
Adipati Surabaya tersebut ambruk dengan bersimbah darah, dan gugur. Namun sebelum ajal menjemput, konon Adipati Sawunggaling sempat melontarkan sumpah kutukan kepada Kompeni Belanda. Bahwa saat ini dirinya memang kalah dalam jumlah pasukan dan persenjataan.
"Namun kelak bila saatnya tiba, bila ada petarung-petarung berbadan pendek (katai), berkulit kuning, berasal dari arah timur laut dan jumlahnya berlaksa-laksa, saat itulah akan datang kembali dan membalas perbuatan kalian".
Editor : Nani Suherni
Artikel Terkait