SURABAYA, iNews.id - Dua dinasti besar pernah menguasai wilayah Pulau Madura di masa Pemerintahan Kolonial Belanda dan Kerajaan Islam. Keduanya yakni dinasti Cakraningrat yang menguasai wilayah Madura Barat (terpusat di Sampang) dan dinasti Cakranagara di wilayah Madura Timur (terpusat di Sumenep).
Namun yang tidak banyak diketahui, berjalannya dinasti kekuasaan di Madura, terutama di wilayah Timur, ditentukan oleh kepemimpinan seorang perempuan.
Munculnya jejak perempuan sebagai penentu kekuasaan di Sumenep Madura berawal dari peristiwa meninggalnya Tumenggung Yudanagara pada tahun 1684.
Yudanagara merupakan penguasa pertama Kadipaten Sumenep. Saat mangkat, dia tidak memiliki anak laki-laki, karena keempat anaknya semuanya perempuan. Sesuai ketentuan adat, perempuan dilarang naik takhta, tapi bisa menjadi wali.
“Jika tidak ada penerus laki-laki, maka putri mendiang raja dapat menjadi wali dan saluran kekuasaan sang raja. Tetapi dia sendiri tidak boleh secara resmi naik takhta,” demikian dikutip dari buku Wali Berandal Tanah Jawa (2109).
Keempat putri Yudanagara telah menikah, dan sesuai adat, putri sulung, yakni Raden Ayu Artak yang memiliki kewenangan menentukan suksesi kekuasaan yang diwariskan ayahnya.
Raden Ayu Artak kemudian meletakkan Pangeran Panji Pulangjiwa, suaminya ke atas takhta Kadipaten Sumenep. Pulangjiwa lahir dari golongan bangsawan rendahan.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait