Weekend Story: Sepekan 2 Vonis Kasus Pembunuhan, Beda Nasib Yosef dan Ronald Tannur
JAKARTA, iNews.id- Dalam sepekan dua kasus pembunuhan mendapatkan vonis berbeda. Pelaku dan korban di dua kasus masing-masing merupakan orang dekat.
Yosef Hidayah, terdakwa dalam kasus pembunuhan ibu dan anak di Subang, Jawa Barat, divonis 20 tahun penjara. Sementara itu, Gregorius Ronald Tannur, anak mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dinyatakan bebas dari tuduhan pembunuhan terhadap kekasihnya.
Sosok Yosef Hidayah maupun Ronald Tannur menyita perhatian publik setelah kasus yang menjerat masing-masing mencuat. Yosef Hidayah maupun Ronald Tannur terlibat dalam kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian korban.
Yosef Hidayah terlibat dalam kasus pembunuhan terhadap istri dan anaknya, sedangkan Ronald Tannur terlibat dalam kasus penganiayaan yang menyebabkan kematian kekasihnya, Dini Sera Afrianti.
Dalam kasus ini, Yosef Hidayah dijerat dengan Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan, sementara Ronald Tannur dijerat dengan Pasal 351 ayat 3 dan Pasal 359 KUHP tentang penganiayaan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Hibnu Nugroho ketika dimintai tanggapannya menyampaikan, janggal putusan PN Surabaya yang membebaskan Gregorius Ronald Tannur.
"Aneh sekali keputusan itu. Jelas ada CCTV. Kecuali kalau peristiwa di pelosok gak ada bukti," katanya kepada iNews.id.
Dia menilai tidak masuk akal alasan majelis hakim yang mengatakan, korban tewas karena penyakit akibat minuman beralkohol. "Karena jelas dia (korban) meninggal karena mengalami penganiayaan berat," katanya.
Menurutnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) bisa banding dengan novum yang jelas dimiliki untuk membantah hakim. Selain itu dia juga memahami kecurigaan keluarga korban dan kuasa hukumnnya terhadap adanya sesuatu di balik putusan hakim tersebut. Termasuk akan dilaporkannya ke Komisi Pemberantas Korupsi (KPK).
Pada kesempatan terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII), Mudzakir mengatakan, putusan hakim terkait erat dengan dakwaan JPU.

Dia mencontohkan, jika dakwaannya keliru, hakim akan sulit memutuskan hukuman yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang sebenarnya.
"Dalam kasus itu, orang sengaja membunuh tetapi dia menggunakan pasal dakwaan penganiayaan yang menimbulkan akibat matinya orang. Kan dua hal yang berbeda," ujar Mudzakir, Sabtu (27/7/2924).
Dia menjelaskan, menganiaya itu tujuannya menimbulkan akibat luka berat, sedangkan pembunuhan akibatnya mati. "Jadi ini dua hal yang berbeda. Jika hanya penganiayaan yang menimbulkan akibat mati, padahal fakta hukumnya pembunuhan berencana berarti itu kan prinsip hukumnya enggak cocok," katanya.
Dalam tindakan penganiayaan berat yang menimbulkan kematian orang tanpa ada maksud membunuh, kata dia termasuk dalam tindak pidana penganiayaan.
"Pertanyaan hukumnya adalah jaksa hanya mendakwa dengan Pasal 338 saja atau ditambah Pasal 340 atau ada pasal yang lebih meringankan adalah pasal penganiayaan berat yang menimbulkan matinya orang lain," ucapnya
Dalam kasus orang sengaja membunuh, kata dia seharusnya pasal berlapisnya itu pembunuhan berencana, pembunuhan dan penganiayaan berat yang menimbulkan akibat mati.
"Tapi kalau di situ misalnya ada 338, tapi ada juga pasal penganiayaan berat yang menimbulkan akibat matinya orang maka menurut pendapat saya hakim dapat memilih antara penganiayaan yang menimbulkan matinya orang atau melakukan pembunuhan secara sengaja," ucapnya.
Menurutnya untuk kasus seperti ini yang paling mungkin dilakukan, yaitu jaksa mengajukan kasasi.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto mengungkapkan, vonis merupakan wewenang hakim berdasarkan alat bukti yang diperiksa di pengadilan dan berdasarkan keyakinan hakim.
"Jadi meskipun sama-sama terkait perkara pembunuhan maka sangat mungkin berbeda karena alat bukti dan keyakinan hakimnya berbeda," katanya.
Editor: Kurnia Illahi