Perjalanan Gatot Iskandar, Remaja asal Kediri Jadi Kurir Kemerdekaan di Pulau Sumatra
Saat dipamiti, kedua orang Gatot langsung memberi restu. Dengan buntalan kecil berisi pakaian ala kadar dan bekal yang terbatas, Gatot dan Umar berangkat. Sebelum menuju stasiun kereta api Kediri, keduanya sengaja mendatangi pimpinan Fond Kemerdekaan Indonesia. Di era revolusi fisik, di setiap wilayah karsidenan berdiri Fond Kemerdekaan Indonesia.
Termasuk juga di Karsidenan Kediri. Tugas Fond Kemerdekaan Indonesia menggalang dana sukarela untuk perjuangan. Namun bukan tambahan bekal yang didapat, Gatot dan Umar malah dititipi kotak bersegel Fond. Di sepanjang perjalanan, keduanya diminta sekalian menggalang dana.
"Wah, ciloko! Mau pergi tidak disangoni, tapi malah disuruh cari duit," ujar Gatot.
Tidak menunggu lama, leduanya bergegas meninggalkan Kediri. Perjalanan sebagai kurir kemerdekaan menuju Pulau Sumatra diawali dengan menumpang kereta api tujuan Jakarta. Di atas kereta api trutuk (Ada yang menyebut sepur kluthuk) yakni kereta dengan lokomotif uap berbahan bakar kayu, kedua pemuda belia itu bergabung dengan penumpang lain.
Persis di bagian dada, pada baju yang dikenakan Gatot dan Umar, masing-masing terpasang lencana kecil merah putih. Lencana berbahan logam tipis (seng) yang biasa dipakai para pejuang. Kereta api melaju sesuai dengan bahan bakar yang dipakai. Lambat. Setiap peluit menjerit, asap hitam bergelung-gelung tebal di udara. Api yang berasal dari kayu yang terbakar di atas tungku uap lokomotif ada kalanya terpercik.
Percikan api yang dibawa angin menimpa rambut, juga membolongi baju penumpang yang berjejalan. 12 jam dengan berjalan merambat, kereta api akhirnya sampai Yogyakarta. Perjalanan berhenti sejenak. Gatot dan Umar turun. Tidak sulit menemukan sesama pejuang republik yang baru berumur dua bulan. Dengan memperlihatkan lencana merah putih, keduanya diterima dengan tangan terbuka.
Gatot dan Umar menginap semalam di Yogyakarta. Keesokan harinya dari stasiun Tugu, keduanya melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Sejumlah pejuang sempat memberinya uang saku sebagai tambahan bekal di perjalanan. Secara fisik maupun usia, Gatot dan Umar masih remaja belia. Di sepanjang perjalanan ke Jakarta. Kesanggupannya menjadi kurir kemerdekaan mendatangkan banyak reaksi orang lain.
Sesama penumpang kereta banyak yang merasa kagum. Bersimpatik. Namun tidak sedikit yang mencibir, memandang sebelah mata dan bahkan mengolok-olok. Namun kedua remaja itu tidak berusaha meladeni. Tiba di Kota Purwokerto, Jawa Tengah, kereta api kembali berhenti. Di hari itu petugas kereta api harus kembali menyiapkan bahan bakar yang habis.
Roda-roda diperiksa. Sekrup-sekrup dikontrol. Gandengan antargerbong dan tungku pembakar tidak luput dari pemeriksaan. Bahkan masinis, kondektur dan stoker atau petugas yang bertanggung jawab atas tungku pembakaran, juga diganti. Sesuatu yang umum di jaman itu. Dalam setiap trayek jarak jauh, secara estafet petugas kereta api dilakukan penggantian.
Seperti di Yogya dan di Purwokerto, Gatot dan Umar juga kembali menginap semalam. Keesokan harinya kereta kembali melanjutkan perjalanan. Belum lama berjalan, dari kejauhan terdengar rentetan tembakan. Para penumpang sontak panik. Gelisah. Bertanya-tanya. Mereka khawatir tembakan akan mendekat.
"Katanya sudah merdeka. Lha kok perang lagi".
Terbawa suasana, Gatot dan Umar juga turut gelisah. Untungnya, suara-suara tembakan itu tidak lama kemudian mereda dan hilang. Saat itu tidak banyak yang tahu, sejak 8 September 1945 melalui Jakarta, Semarang, dan Surabaya tentara sekutu yang dipelopori Inggris telah masuk Tanah Air. Kedatangan mereka untuk melucuti tentara Jepang dipimpin Letnan Jendral Sir Philip Christison.
Belanda dengan pasukan NICA membonceng pascakekalahan Jepang. Belanda ingin memulihkan kembali kekuasaanya di Indonesia. Pertempuran pun meletus di mana-mana. Setelah sempat kembali menginap semalam di Cirebon, perjalanan Gatot dan Umar yang berlangsung empat hari, sampai juga di Jakarta. Keduanya turun di stasiun Jatinegara.
Melalui petunjuk nomor kontak dari Tajib Ermadi, Gatot dan Umar naik trem dengan tujuan Pegangsaan Timur. Syarif dan Syafei, dua pemuda penjemputnya, menyarankan Gatot dan Umar mencopot lencana merah putih yang dikenakan. Bagi para pejuang republik, Jakarta dalam situasi berbahaya. Belanda ada di mana-mana, berpatroli sekaligus melakukan aksi polisional.
Panasnya suhu politik Jakarta berlangsung sejak Proklamasi Kemerdekaan berkumandang. Sebulan paska proklamasi, sebanyak 200 ribu warga berbondong-bondong memadati lapangan Ikada (Sekarang lapangan Monumen Nasional). Dengan membawa berbagai senjata tajam, kepungan tank dan panser pasukan Jepang diterobos. Rakyat minta perang. Menunggu perintah Presiden Soekarno menghancurkan Jepang.
Bung Karno naik mimbar dan untungnya berhasil menenangkan massa yang sudah siap berani mati. "Belasan ribu orang tersebut bisa ditenangkan. Mereka kembali ke rumah masing-masing," kata Mangil Martowidjojo, Pengawal Bung Karno dalam "Pengalaman dan Kesaksian Sejak Proklamasi Sampai Orde Baru". Sementara oleh dua orang penjemputnya, Gatot dan Umar diantar ke jalan Bonang.
Di sebuah rumah bagus milik BR Motik, yakni kakak Johan salah seorang pengurus Gerakan Angkatan Muda Indonesia (GAMI). Gatot dan Umar menginap sambil menunggu perintah selanjutnya. Esok harinya, oleh aktivis GAMI keduanya dibawa ke Sawah Besar. Di sebuah rumah yang sudah disiapkan, Gatot dan Umar dipertemukan dengan kurir kemerdekaan dari daerah lain.
Suroso Prawirodirdjo dari Madiun. Pemuda Suroso merupakan pegawai jawatan kereta api yang juga aktif di organisasi Angkatan Muda Kereta Api. Dari Madiun Suroso ditemani Bonggar, pegawai jawatan kereta api kelahiran Sumatera Utara. Gatot dan Umar yang berusia paling belia juga diperkenalkan dengan pemuda Indratno, kurir kemerdekaan asal Yogyakarta, Supardi dari Banyumas, Cik Somad asal Palembang, Syamsudin dari Bengkulu, Anwar serta Azwar dan Rivai (Keduanya kakak adik) dari Minangkabau dan Hamid dari Tapanuli.
Di Jakarta yang situasinya mencekam, mereka menginap selama dua minggu. Briefing dan arahan mereka terima. Hingga tiba saatnya melanjutkan jalan. Dari Sawah Besar mereka bersama-sama menuju Pasar Ikan untuk menaiki kapal. Tim kurir kemerdekaan dibagi. Umar dan Cik Somad ke Lampung. Syamsudin dan Supardi ke Bengkulu. Azwar, Rifai dan Anwar ke Sumatra Barat. Suroso dan Bonggar ke Sumatra Utara serta Gatot dan Hamid ke Tapanuli.
Perjalanan sempat terjeda lima hari karena mesin kapal mendadak rusak dan harus dibenahi. Masih di perairan Tangerang, kapal kayu itu kembali mogok. Dibantu nelayan yang melintas, rombongan dievakuasi ke darat. Mereka memutuskan mendatangi markas Akademi Militer Tangerang. Gatot Cs sempat bertemu tokoh militer Daan Mogot dan Kemal Idris.
Editor: Donald Karouw