Perempuan-perempuan Jawa di Perang Diponegoro yang Bikin Belanda Ketakutan

Nyai Ageng yang biasa bersemedi di gua-gua sunyi pantai selatan, dikenal memiliki ilmu kanuragan tinggi. Nyai Ageng Serang menyerah pada 21 Juni 1827, namun kompeni Belanda masih terus mengawasinya.
Pascperang Diponegoro berakhir pada Maret 1830, Nyai Ageng diam-diam masih berhubungan erat dengan orang-orang di Demak. Doa membagi-bagikan rajah atau jimat yang dikhawatirkan Belanda akan membangkitkan kenangan lama.
Kompeni Belanda merasa lega setelah Nyai Ageng meninggal dunia pada usia 90 tahun.
2.Raden Ayu Yudokusumo
Merupakan istri Bupati Yogya untuk wilayah Grobogan-Wirosari. Raden Ayu yang dikenal kompeni Belanda sebagai perempuan yang cerdas, memiliki sifat berani sekaligus keras kepala sejak lama.
Pada saat Inggris mencaplok (aneksasi) wilayah kekuasaan suaminya pada Juli 1812, Raden Ayu memperlihatkan sikap melawan. Dia baru bersedia meninggalkan tempat setelah Kraton Yogyakarta mengukuhkan pengambialihan wilayah tersebut.
“Dia seorang perempuan yang punya kecerdasan tinggi, kemampuan besar dan siasat jitu,” tulis sejarawan Peter Carey dalam “Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa (1785-1855).
Dalam Perang Diponegoro, Raden Ayu menjadi salah satu panglima kavaleri senior Diponegoro di Mancanegara Timur. Dia bergabung dengan Raden Sosrodilogo di Jipang-Rajegwesi (sekarang Cepu-Bojonegoro) dalam perlawanan 28 November 1827- 9 Maret 1828.
Pada 17 September 1825, Raden Ayu Yudokusumo mengatur penyerangan masyarakat Tionghoa pro Belanda di wilayah Ngawi. Dalam perang yang berakhir dengan pembantaian itu, ia seketika mendapat sebutan sebagai pejuang yang garang.
"Seorang perempuan yang cerdas tapi sangat menakutkan," tulis Louw dan De Klerck (1894-1909).
Editor: Ihya Ulumuddin