Kisah Sastrawan Besar Indonesia Iwan Simatupang yang Meninggal Dunia secara Tragis

Novel Merahnya Merah yang dimulai belakangan, terbit duluan pada tahun 1961. Merahnya Merah meraih Hadiah Sastra Nasional pada tahun 1970. Iwan memulai novel Kering ketika merasa muak dengan kemelut politik yang terjadi saat itu (Orde Lama).
Iwan tidak sepakat dengan prinsip politik adalah panglima. dia merasa sebal melihat seluruh bidang kehidupan masyarakat di bawah kendali politik. Iwan Simatupang merupakan salah satu dari sejumlah sastrawan yang ikut meneken Manifes Kebudayaan (Manikebu).
Manikebu merupakan kelompok sastrawan, seniman, pelukis, penulis, pemusik yang berada pada kutub yang berseberangan dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).
Manikebu mengusung tag line seni untuk seni dengan humanisme universal sebagai basis pemikiran. Sedangkan para seniman Lekra yang merupakan ounderbow PKI mengusung realisme sosialis.
Dalam perjalanan hidupnya Iwan cukup lama singgah di Hotel Salak, Bogor. Di kamar hotel bernomor 52, hampir seluruh esainya lahir. Dalam surat yang ia tujukan kepada HB Jassin (17 Januari 1962), Iwan menyebut dirinya sebagai “Manusia Hotel”.
"Kalau kukaji hidupku sendiri hingga kini, aku sendiri adalah “manusia hotel” itu. Terus menerus di hotel. Uit liefde & leed, karena suka dan terpaksa..," tulisnya.
Pada 4 Agustus 1970, Iwan Simatupang tutup usia. Dia meninggal dunia di rumah kakak perempuanya di Jakarta, karena mengidap penyakit komplikasi. Sastrawan besar itu meninggal dalam kondisi ekonomi yang parah, selalu mengalami kesulitan biaya hidup, karena tidak mempunyai pekerjaan yang tetap, sering berpindah pekerjaan.
Editor: Ihya Ulumuddin