Kisah Pabrik Gula dan Jejak Pelacuran yang Tumbuh Subur sejak Era Kolonial Belanda
Praktik pelacuran banyak dipengaruhi gaya hidup para pekerja perkebunan, termasuk pabrik gula. Terutama laki-laki Eropa yang merasa kesepian karena harus patuh dengan aturan perusahaan yang melarang membawa istri atau keluarga ke wilayah kerja.
Untuk memenuhi kebutuhan seksual, sebagian besar dari mereka kemudian mengambil perempuan lokal (pribumi) atau Jepang sebagai gundik atau nyai. Para perempuan itu tidak sedikit yang berstatus kuli kontrak perkebunan.
Kehadiran gundik tidak hanya untuk memuaskan kebutuhan ranjang, tapi juga mengatur urusan rumah tangga.
“Di antara mereka memang benar-benar berfungsi sebagai pengurus rumah tangga, sementara yang lainnya berfungsi rangkap,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018).
Praktik pergundikan orang-orang Eropa di lingkungan perkebunan dan pabrik gula itu bukan tanpa penentangan. Sejumlah orang Eropa baik-baik (bermoral) yang tidak menyukai praktik amoral itu melontarkan protesnya.
Apalagi di beberapa tempat perkebunan ditemukan kasus penyiksaan, terutama terhadap gundik yang ketahuan serong dan sekaligus mencoba melarikan diri.
Editor: Ihya Ulumuddin