Kisah Konflik Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo Picu Kekalahan Pasukan Perang Melawan Belanda

JAKARTA, iNews.id - Perang Jawa yang berkecamuk pada abad ke-19 menjadi salah satu konflik bersejarah yang mencatat banyak peristiwa menegangkan. Salah satu elemen kunci dari perang ini yakni perselisihan antara dua pemimpin penting, Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo, yang berdampak signifikan pada pergerakan pasukan saat melawan penjajah Belanda.
Pangeran Diponegoro, seorang tokoh penting dalam perang ini, harus menghadapi konflik internal dengan Kiai Mojo, yang menjadi salah satu konsultan agamanya. Perselisihan ini tidak hanya berdampak pada pasukan Diponegoro tetapi juga pada perjalanan seluruh perang.
Salah satu pertempuran penting yang terpengaruh oleh perselisihan ini terjadi pada 15 Oktober 1826, ketika Diponegoro memimpin serangan terhadap pasukan penjajah di Gawok. Pada saat itu, sebagian besar daerah asal Diponegoro, Pajang, telah berada di bawah kendali pangeran, dan Kiai Mojo mendorong untuk segera meluncurkan serangan besar-besaran ke Surakarta.
Peter Carey, dalam bukunya yang berjudul "Takdir Riwayat Pangeran Diponegoro 1785 - 1855," menggambarkan bagaimana Kiai Mojo merasa memiliki pengaruh besar dalam konflik ini. Dia bahkan menyatakan bahwa para pangeran terdahulu di Surakarta belajar di bawah bimbingan ayahnya, Kiai Baderan, dan sekarang anak-anak mereka adalah murid-muridnya. Dengan pernyataan seperti itu, Kiai Mojo mencoba merendahkan peran Pangeran Diponegoro di Surakarta, bahkan menyatakan bahwa Keraton Sunan tidak lagi bersimpati pada pangeran.
Ketegangan antara kedua pemimpin ini merusak gerakan pasukan Pangeran Diponegoro. Beberapa minggu setelah serangan ke Gawok, pasukan Diponegoro mengalami kekalahan di pertempuran tersebut. Kedua pemimpin saling menyalahkan, dan pendukung Pangeran Diponegoro dari keraton menuduh Kiai Mojo sebagai biang keladi kekalahan tersebut. Mereka bahkan menduga bahwa Kiai Mojo dan keluarganya mendorong serangan terhadap Surakarta demi kepentingan pribadi mereka di masa depan.
Konflik ini juga mencapai puncaknya pada Agustus 1827, saat perundingan damai sedang berlangsung di Salatiga. Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo terlibat dalam perdebatan panjang tentang hakikat kekuasaan politik.
Editor: Nani Suherni