Kisah Kesaktian Cambuk Kiai Samandiman yang Usir Lahar Kelud

Nama Jugo perolehnya saat masih bermukim di Desa Jugo, Kecamatan Kesamben, Kabupaten Blitar. Dalam Riwayat Ejang Djugo Panembahan Gunung Kawi (Terbit 1954), Im Yang Tju menulis : nama Jugo berasal dari kata Sajugo (menyatu). Dia kemudian hijrah sekaligus menetap di lereng Gunung Kawi, Malang, ditemani Mbah Iman Soejono putra angkatnya.
“Eyang Jugo merupakan guru Eyang Djojodigdo,” ucap Mbah Lasiman.
Djojodigdo mendengar Blitar sebagai kawasan yang gawat. Para begal, kecu, perampok sakti berkeliaran di mana-mana. Para punggawa Kadipaten Blitar kewalahan. Melihat itu Eyang Djojodigdo menawarkan diri kepada Bupati Blitar Kanjeng Adipati Warso Koesoemo, mengatasi gangguan keamanan yang terjadi.
Bupati mengizinkan Djojodigdo yang terkenal memiliki ajian Pancasona menciutkan nyali para penjahat. Para begal memilih menyingkir daripada bertarung dan binasa. Ajian Pancasona atau Rawa Rontek merupakan ilmu kesaktian pilih tanding. Pemilik Pancasona konon tak bisa dibunuh.
Setiap mati pengamal Pancasona akan hidup kembali saat jasadnya menyentuh tanah. Atas keberhasilan mengusir para begal, Kanjeng Adipati Warso Koesoemo mengangkat Djojodigdo sebagai Patih Kadipaten Blitar. Peristiwa pengangkatan itu berlangsung pada 8 September 1877. Menurut penuturan Mbah Lasiman, Eyang Djojodigdo memiliki empat orang istri.
Dari keempatnya lahir 32 anak dan 4.000 buyut yang tersebar di Indonesia. Salah satu putra Djojodigdo menjadi Bupati Rembang dan putra bupati itu yang kemudian memperistri RA Kartini.
“Jadi suami RA Kartini merupakan cucu dari eyang Djojodigdo, “ kata Mbah Lasiman.
Menurut Mbah Lasiman tradisi mengungsi ke pesarean Djojodigdan saat Gunung Kelud meletus, terus berlanjut. Banyak yang percaya, mereka akan dijaga seluruh pusaka peninggalan Eyang Djojodigdo. Pusaka tersebut kata Mbah Lasiman kadang memperlihatkan diri kepada para peziarah.
“Wujudnya ular naga. Kemudian delapan ekor harimau Lodoyo yang merupakan roh harimau dalam tradisi rampogan macan,” ucap Mbah Lasiman.
Editor: Nani Suherni