Menanggapi tekanan politik ekonomi itu, pemerintahan Soekarno tidak tinggal diam. Pemerintahan RI menerbitkan maklumat pada 2 Oktober 1945 yang intinya menyatakan mata uang Hindia Belanda baru tidak berlaku di wilayah RI. Maklumat tersebut disusul dengan Maklumat 3 Oktober 1945.
Isinya di antara lain mata uang yang dianggap sah sebagai alat pembayaran adalah uang kertas Javasche Bank yang dikeluarkan tahun 1925 hingga cetakan tahun 1941. Kemudian uang kertas Pemerintah Militer Dai Nippon (Jepang) di Jawa yang terdiri dari 8 pecahan serta uang logam Pemerintah Hindia Belanda sebelum tahun 1942.
Para pejuang, pelajar dan masyarakat Indonesia langsung meresponnya. Mereka menindaklanjuti dengan menggelar aksi penolakan mata uang NICA, bahkan memusnahkannya.
“Di Yogyakarta pada hari dikeluarkannya maklumat itu, para pelajar sekolah menengah secara spontan mengumpulkan mata uang NICA, termasuk di kampung-kampung yang diduga ada peredaran mata uang tersebut, kemudian memusnahkannya,” dikutip dari Jurnal Sejarah, Pemikiran Rekonstruksi Persepsi (2004).
Aksi penolakan rakyat terhadap mata uang NICA meluas di mana-mana. Di Jakarta, banyak pedagang pribumi yang tidak mau menerima mata uang baru Belanda sebagai alat pembayaran. Mereka juga menolak menjual barang dagangan kepada orang-orang Belanda. Demikian juga di Semarang, Jawa Tengah. Banyak rakyat yang tidak mau menerima uang merah.
Upaya Belanda memasarkan mata uang NICA di Jawa dan Sumatera mendapat perlawanan sengit dari rakyat, yang seringkali berujung terjadinya tindak kekerasan. Pada faktanya, Belanda melihat rakyat (Jawa dan Sumatera) lebih suka menggunakan mata uang rupiah Jepang yang telah dinyatakan pemerintahan RI sebagai alat pembayaran yang sah.
Rakyat tidak peduli meski nilai mata uang Jepang terus merosot. Wakil Presiden RI Mohammad Hatta atau Bung Hatta melihat mata uang bisa dipakai sebagai senjata Belanda untuk membuat kekacauan ekonomi di wilayah RI, dan karena itu harus dihentikan.
Editor : Reza Yunanto
Artikel Terkait