Aspek sosial budaya turut terpengaruh. Pasalnya, warga Madura kerap membawa budaya asli saat berinteraksi dengan penduduk lokal maupun etnis pendatang lain.
Hanya saja, saat bersosialisasi warga Madura dikenal temperamental dan cepat marah jika terjadi konflik. Apalagi, para transmigran itu kerap membawa senjata tajam ke mana pun mereka pergi sehingga diasosiasikan dengan budaya kekerasan.
Rinchi Andika Marry dalam skripsinya menulis, konflik bermula pada 18 Februari 2001 atas penyerangan dan pembunuhan empat anggota keluarga dari etnis Madura. Motif itu disebut terkait peristiwa di Kereng Pangi.
Warga Dayak dituding menjadi pelakunya. Lantas sekelompok transmigran Madura mendatangi beberapa warga Dayak dan membakar rumahnya lantaran tidak berhasil menemukan pelaku.
Peristiwa itu menyebar dengan cepat di kalangan suku Dayak. Kondisi semakin memanas karena kelompok warga Dayak tidak terima dan melakukan aksi pembakaran balasan terhadap rumah warga Madura.
Konflik berkembang menjadi pembantaian ketika warga Dayak dari luar Sampit berdatangan untuk melakukan pembalasan terhadap orang-orang Madura. Mereka melakukan sweeping terhadap warga Madura.
Sejumlah orang Madura yang tertangkap dieksekusi di tempat. Sweeping bahkan tidak hanya menyasar warga Madura yang terlibat konflik, namun juga orang yang memiliki darah atau keturunan Madura meski tidak tahu soal awal mula kerusuhan.
Para warga Dayak menuntut agar etnis Madura di Kalimantan Tengah segera pergi.
Penyelesaian Konflik Sampit
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Tengah lantas memfasilitasi pertemuan formal maupun informal antara tokoh kedua etnis. Tujuannya untuk perdamaian.
Editor : Rizky Agustian
Artikel Terkait