“Menurut Kartini, penderitaan perempuan Jawa kian lengkap yang dunianya hanya dibatasi tembok rumah dan harus bersedia dimadu (poligami)”.
Kartini dengan kacamatanya menggugat kebiasaan kaum pria, terutama kalangan priyayi yang dengan mudah melakukan praktik kawin cerai, poligami dan perseliran. Akibatnya kaum perempuan yang disia-siakan.
Tulisan Kartini mendatangkan hujatan dari sejumlah penulis lain, yakni terutama dalam artikel Umat Islam di koran Hindia Baroe.
Serangan bertubi-tubi terhadap pikiran RA Kartini itu memaksa KH Agus Salim terjun ke dalam pusaran polemik poligami. Dalam artikel “Perempuan dan Umat Islam”, Agus Salim berusaha menjernihkan masalah.
“Salim menolak hujatan beberapa penulis terhadap wacana Kartini yang seolah-olah sudah keliru memahami Islam, khususnya tentang rumah tangga dan perkawinan dalam Islam”.
Kendati demikian, bertolak belakang dari pemikirannya RA Kartini yang saat itu berusia 24 tahun, menerima dinikahkan dengan bupati Rembang Raden Adipati Joyodiningrat yang sudah memiliki tiga istri.
Pada tahun 1937, atas dorongan beberapa tokoh muslim yang berpandangan modern, pemerintah kolonial Hindia Belanda bersedia menerbitkan peraturan yang juga memuat keharusan perkawinan monogami Islam.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait