Citra kulit terang sebagai simbol ideal kecantikan perempuan Jawa masa pra kolonial, digusur. Bahwa yang disebut perempuan cantik itu yakni mereka yang berkulit putih Eropa.
Bukan lagi kulit warna sawo terang sebagaimana diceritakan dalam kisah-kisah Ramayana. Bagi kekuasaan kolonial, menampilkan keeropaan di Hindia Belanda menjadi sesuatu yang penting. Penanda keeropaan dikonstruksi dan diperlihatkan kasat mata.
Ann Stoler dalam Making Empire Respectable: The Politics of Race and Sexual Morality in 20th Century Colonial Cultures (1989) menyebut: terutama para perempuan Belanda terdorong menghiasi diri dan keluarga dengan artefak-artefak budaya sebagai Eropa. Mereka tidak hanya menonjolkan warna kulit putih sebagai simbol kecantikan nan agung.
Sebelum menjejakkan kaki di tanah Hindia Belanda, para perempuan Eropa dibrefing urusan tata krama Eropa. Mereka harus bisa menampilkan sopan santun kelas menengah Eropa serta kepantasan kolonial. Para perempuan Eropa didesain untuk tidak mempertontonkan kemarahan atau pun ringan melontarkan cacian.
Di depan kaum jajahan, tindak tanduk perempuan Eropa harus senantiasa terlihat bijak dan terkendali, terutama saat menghadapi pembantu: harus tenang, jaga diri, tak pernah marah, selalu tegas, dan lebih unggul. Prestise orang kulit putih di Hindia Belanda menjadi alasan dibalik prilaku para perempuan Eropa yang senantiasa tampak terkendali dan pantas itu.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait