50 tahun kemudian atau pada tahun 1930, sebanyak 884 wanita Eropa kembali datang ke Hindia Belanda. Jumlah mereka lebih besar dari kedatangan sebelumnya.
Sementara perempuan China dan Arab bertambah masing-masing 646 orang dan 841 orang. Gelombang kedatangan imigran perempuan Eropa secara perlahan mengikis “budaya” pergundikan yang sebelumnya lumrah dilakukan laki-laki Eropa di Hindia Belanda.
Minat para pejabat kolonial Belanda untuk memelihara Nyai, menyusut. Mereka tidak lagi tertarik menyimpan perempuan pribumi sebagai istri simpanan. Kekhawatiran munculnya “orang putih” miskin yang bisa mengancam superioritas putih Eropa, membuat para lelaki Belanda memilih kembali berpaling kepada para wanita yang masih satu ras (kulit putih).
“Pergundikan mulai dianggap tidak begitu lagi diminati, dan pria-pria Eropa pun tak lagi terdorong untuk menyimpan Nyai,” kata Scholten Locher dalam Women and The Colonial State: Essays on Gender and Modernity in The Netherlands Indies 1900-1942.
Selain menggusur praktik pergundikan, kehadiran wanita Eropa di Hindia Belanda sekaligus dipakai mempertegas superiotas Eropa di negeri jajahan, khususnya menyangkut citra kecantikan perempuan Eropa. Kolonial Belanda telah mempraktikkan politik rasial estetik. Kulit yang berwarna putih digunakan sebagai pembeda kategori sosial.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait