Sejarah Gedung Grahadi: dari Rumah Kebun 1795 hingga Terbakar dalam Kerusuhan 2025
SURABAYA, iNews.id - Sejarah Gedung Grahadi adalah kisah panjang yang membentang sejak tahun 1795, saat Residen Dirk van Hogendorp memerintahkan pembangunan rumah kebun yang kini menjadi salah satu ikon bersejarah Kota Surabaya.
Gedung ini bukan hanya simbol kemegahan masa kolonial, tetapi juga menjadi saksi sejarah penting perjalanan pemerintahan Jawa Timur hingga era modern. Sayangnya, warisan berharga ini harus menerima ujian pahit pada 30 Agustus 2025 ketika Gedung Grahadi dibakar oleh massa dalam sebuah aksi ricuh yang sangat disayangkan.
Dilansir iNews dari berbagai sumber, berikut penjelasan soal sejarah Gedung Grahadi:
Gedung Grahadi dibangun pada tahun 1795 atas perintah Residen Belanda, Dirk van Hogendorp, yang menjabat sebagai penguasa Jawa bagian timur saat itu. Awalnya gedung ini berfungsi sebagai rumah kebun (tuinhuis) dan tempat peristirahatan bagi pejabat Belanda di pinggiran kota Surabaya. Dari teras Grahadi, para penghuni dapat menikmati pemandangan Sungai Kalimas—jalur transportasi utama waktu itu—sambil menyaksikan perahu-perahu melintas. Pada awalnya, gedung ini menghadap ke utara, langsung ke Sungai Kalimas, tapi pada tahun 1802 arah hadapnya diubah ke selatan seperti yang masih terlihat sampai sekarang.
Gedung ini difungsikan sebagai rumah dinas untuk pejabat Belanda sekaligus tempat pertemuan dan pesta. Seiring perkembangan kota Surabaya, kini Grahadi berada di pusat kota dan tetap berfungsi penting sebagai rumah dinas Gubernur Jawa Timur sekaligus tempat resmi penerimaan tamu negara, pelantikan pejabat, dan upacara peringatan nasional.
Gedung Grahadi dibangun dengan gaya arsitektur neo-klasik Perancis yang kemudian bertransformasi menjadi gaya Hindia Belanda khas kolonial dengan dominasi batu bata merah dan kolom megah. Renovasi penting dilakukan pada masa pemerintahan Herman William Daendels yang menginginkan tampilan gedung lebih megah dan anggun, menjadikannya simbol kemewahan dan kekuasaan kolonial masa itu.
Gedung ini pernah menjadi rumah dinas berbagai pejabat tinggi kolonial, termasuk penguasa Belanda dan pejabat Jepang selama masa pendudukan, sebelum beralih fungsi menjadi rumah dinas gubernur setelah Indonesia merdeka. Selain sebagai pusat pemerintahan, gedung ini juga merupakan cagar budaya yang dilindungi karena nilai sejarah dan arsitekturnya yang khas, termasuk taman dan kolam yang terhubung dengan parit mengelilingi bangunan, menyatu dengan Sungai Kalimas.
Namun, peristiwa kebakaran pada malam 30 Agustus 2025 membawa luka mendalam bagi masyarakat Surabaya dan Jawa Timur. Pembakaran yang diduga akibat aksi anarkis massa ini membakar sebagian besar ruang penting di sisi barat gedung, termasuk ruang kerja Wakil Gubernur Emil Dardak.
Selain kerusakan fisik yang parah, peristiwa tersebut juga memicu keprihatinan besar atas perlindungan cagar budaya di Indonesia. Gedung Grahadi, yang telah menjadi saksi bisu perjuangan sejarah dan simbol pemerintahan daerah, kini menghadapi risiko kehilangan sebagian dari keaslian dan kemegahannya.
Kerusakan yang terjadi sangat disayangkan karena gedung ini lebih dari sekadar bangunan; ia adalah bagian dari identitas dan kebanggaan masyarakat Jawa Timur.
Aksi anarkis yang berujung pada pembakaran tersebut justru menodai nilai-nilai demokrasi dan kebudayaan yang sejatinya harus dijaga bersama. Insiden ini mengingatkan pentingnya dialog dan penyelesaian konflik secara damai tanpa merusak warisan sejarah yang tak ternilai harganya.
Editor: Komaruddin Bagja