Sarangan Magetan, Tempat Penampungan yang Menjelma Jadi Surga Dunia Orang Jerman
Ratusan perempuan dan anak-anak asal Jerman itu hidup nyaman di Sarangan Magetan. Anak-anak juga bersekolah dengan tenang.
Para orang tua mampu mencukupi kebutuhan hidup sendiri melalui sektor peternakan dan pertanian.
Padang rumput luas yang berada di atas Sarangan digunakan untuk peternakan sapi perah. Susu sapi itu didistribusikan kepada kaum ibu yang memiliki anak kecil.
Orang-orang Jerman itu juga mengolah lahan perkebunan sayur. Para tukang kebun didorong membuka lebih banyak perkebunan.
Kentang, wortel, tomat, kubis, bawang bombai, dan selada, dihasilkan sendiri. Banyak buah-buahan murah yang juga dijual ke desa.
Begitu juga dengan kebutuhan daging segar, sosis, dan roti juga diproduksi sendiri. Soal distribusi pangan tak ada perbedaan antara warga Reich dan Volk Jerman.
Mereka semua saling bantu dan tidak ada seorang pun di Sarangan yang mengalami kelaparan. Bahkan banyak sayuran yang dibawa ke pangkalan angkatan laut di Surabaya.
“Festival panen juga dirayakan 1 Oktober sekalipun selalu ada panenan sepanjang tahun di Sarangan,” kata Horst H. Geerken dalam buku Jejak Hitler di Indonesia.
Orang-orang Jerman di Sarangan Magetan, seakan hidup di daerah asal. Mereka bebas mengatur dirinya sendiri dengan lingkungan yang eksotis. Mereka tidak diwajibkan pulang ke Jerman karena Eropa dalam situasi gawat.
Nyaris setiap hari Sekutu melakukan serangan udara di Jerman yang membuat anak-anak Jerman di wilayah perkotaan diungsikan ke pedesaan. Namun kenyamanan hidup di Sarangan Magetan bak menikmati surga dunia berakhir juga.
Editor: Rizky Agustian