Perjuangan Rifai di Tanah Rantau dan Senyum Keluarga Bersama Rumah Impian
Dia baru pulang ke rumah menjelang petang, ketika anak bungsunya itu berada di musala untuk mengaji. Maka, malam selepas magrib Rifai kerap menemaninya. Mengajaknya belajar, lalu menunggunya saat bermain bersama teman-temannya di halaman rumah.
Berjuang di Perantauan
Melihat si bungsu asyik bermain, Rifai teringat saat masih tinggal di perantauan, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2006 silam. Di provinsi ujung timur Indonesia itu, Rifai harus tinggal di rumah kos kecil bersama istri dan anak pertamanya, Galih.
Gaji yang kecil sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan ijazah SMA tak cukup bagi Rifai untuk menyewa rumah kontrakan yang lebih besar. Apalagi, itu menjadi tahun pertamanya menjadi PNS.
"Gaji pas-pasan. Mau tidak mau ya ngirit dulu, tinggal di rumah kos. Apalagi, di sana juga tidak punya kerabat. Benar-benar jadi orang baru," katanya.
Kisah perjalanan sebagai perantauan itu dimulai Rifai dan istrinya, Rima pada 2006 silam. Pria kelahiran Tuban 42 tahun itu berhasil lolos sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Karantina Pertanian lewat jenjang SMA. Dia ditempatkan di Balai Karantina Pertanian (BPKP) Kupang untuk posisi satpam.
Semangat yang tinggi tak menyurutkan niatnya untuk tetap berangkat menjalankan tugas. Ditemani istri tercinta, Rima, Rifai memulai babak baru sebagai PNS dan indekos di rumah petak sederhana di Kupang, NTT.
Berjuang di tanah rantau dengan gaji pas-pasan tentu bukan perkara mudah. Apalagi, dia tidak punya sanak famili di sana. Mau tidak mau, Rifai harus mengencangkan ikat pinggang agar tetap bisa membayar uang sewa kamar kos dan tetap survive bersama keluarga kecilnya.
Setiap bulan, Rifai harus menyisihkan sebagian gajinya untuk ditabung, membayar uang sewa kos dan biaya hidup sehari-hari. "Ngirit pol pokoke (menghemat betul pokoknya)," ucapnya.
Editor: Ihya Ulumuddin