Perjuangan Rifai di Tanah Rantau dan Senyum Keluarga Bersama Rumah Impian
SURABAYA, iNews.id - Rumah di Blok GG Nomor 40, Perumahan Swan Menganti Mas Regency, Kabupaten Gresik, terlihat ramai, Selasa (7/2/2023). Suara anak-anak terdengar riuh, memecah malam yang mulai pekat. Mereka bermain dengan riang, saling kejar, lantas tertawa bahagia.
Selepas magrib, perumahan di perbatasan Kota Surabaya dan Kabupaten Gresik ini hampir tak pernah sepi oleh bocah-bocah yang sedang bermain. Saat itu mereka berkumpul bersama setelah sepanjang sore berada di musala untuk mengaji. Kadang bersepeda, main petak umpet atau bermain apa saja yang mereka suka.
Di sudut teras, Muhammad Rifai (43), tersenyum, menyaksikan bocah-bocah itu bermain dengan riang. Sesekali, matanya menatap tajam, memastikan anak bungsunya, Sekar (7) yang juga ikut bermain, baik-baik saja.
"Sekar, hati-hati kalau lari. Awas jatuh," ucapnya.
Duduk di teras rumah melihat anaknya bermain menjadi momen istimewa bagi Rifai di malam hari. Letih setelah seharian bekerja seketika sirna mendengar celoteh Sekar yang menggemaskan.
Maklum, waktu bermain dengan si bungsu terbilang singkat. Di pagi buta, Rifai sudah harus berangkat ke pelabuhan, menjadi petugas pengawas di Balai Karantina Wilker Gresik. Saat itu, Sekar masih terlelap.
Dia baru pulang ke rumah menjelang petang, ketika anak bungsunya itu berada di musala untuk mengaji. Maka, malam selepas magrib Rifai kerap menemaninya. Mengajaknya belajar, lalu menunggunya saat bermain bersama teman-temannya di halaman rumah.
Berjuang di Perantauan
Melihat si bungsu asyik bermain, Rifai teringat saat masih tinggal di perantauan, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 2006 silam. Di provinsi ujung timur Indonesia itu, Rifai harus tinggal di rumah kos kecil bersama istri dan anak pertamanya, Galih.
Gaji yang kecil sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan ijazah SMA tak cukup bagi Rifai untuk menyewa rumah kontrakan yang lebih besar. Apalagi, itu menjadi tahun pertamanya menjadi PNS.
"Gaji pas-pasan. Mau tidak mau ya ngirit dulu, tinggal di rumah kos. Apalagi, di sana juga tidak punya kerabat. Benar-benar jadi orang baru," katanya.
Kisah perjalanan sebagai perantauan itu dimulai Rifai dan istrinya, Rima pada 2006 silam. Pria kelahiran Tuban 42 tahun itu berhasil lolos sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Badan Karantina Pertanian lewat jenjang SMA. Dia ditempatkan di Balai Karantina Pertanian (BPKP) Kupang untuk posisi satpam.
Semangat yang tinggi tak menyurutkan niatnya untuk tetap berangkat menjalankan tugas. Ditemani istri tercinta, Rima, Rifai memulai babak baru sebagai PNS dan indekos di rumah petak sederhana di Kupang, NTT.
Berjuang di tanah rantau dengan gaji pas-pasan tentu bukan perkara mudah. Apalagi, dia tidak punya sanak famili di sana. Mau tidak mau, Rifai harus mengencangkan ikat pinggang agar tetap bisa membayar uang sewa kamar kos dan tetap survive bersama keluarga kecilnya.
Setiap bulan, Rifai harus menyisihkan sebagian gajinya untuk ditabung, membayar uang sewa kos dan biaya hidup sehari-hari. "Ngirit pol pokoke (menghemat betul pokoknya)," ucapnya.
Lebih dari dua tahun Rifai bersama istri dan anak pertamanya, Galih, tinggal di kamar kos, sebelum akhirnya dia berpikir untuk membeli rumah. Sebab, membayar uang sewa kos Rp250.000 per bulan juga lumayan menguras tabungan. Apalagi, kebutuhan juga bertambah banyak karena si kecil juga harus sekolah.
"Alhamdulillah waktu itu ada program subsidi dari BTN. Uang muka hanya Rp5 juta untuk rumah tipe 28 seharga Rp50 juta untuk tipe rumah sederhana," tuturnya.
Selain itu, cicilan rumah juga sangat ringan, hanya Rp250.000 dari seharunya Rp800.000 selama 15 tahun. "Itu (Cicilan ringan) fixed rate lima tahun. Lumayan membantu. Kalau nggak ada subsidi, nggak mungkin bisa beli. Sebab gaji masih kecil," katanya.
Lebih dari delapan tahun Rifai dan keluarga tinggal di rumah mungil itu, sebelum akhirnya dia mendapat surat mutasi untuk pindah ke Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Surabaya tahun 2015.
Rifai sempat syok mendapat perintah pindah tersebut. Sebab, selain sudah cocok dengan lingkungan di Kupang, dia juga sudah terlanjur membeli rumah di sana. Apalagi, sang istri juga tengah mengandung anak kedua.
Namun, tugas tetap harus dijalankan. Karena itu, dia pun terpaksa harus melego rumah mungilnya untuk pindah ke Surabaya.
Ikhtiar itu ternyata sukses. Rifai berhasil menjual rumahnya di Kupang seharga Rp200 juta. Dia bersyukur, selain telah menempati rumah selama delapan tahun dia masih mendapat kelebihan jual hingga Rp100 juta dari harga semula.
Namun, tabungan Rp100 juta ternyata tidak cukup untuk membeli rumah di kota sebesar Surabaya dan sekitarnya. Sebab, tahun 2015, rerata harga rumah saat itu berkisar antara Rp350-Rp500 juta. Itu pun lokasinya di kawasan pinggiran kota.
Mau tidak mau, Rifai dan keluarga harus kembali tinggal di rumah kontrakan. Bersama sang istri dan anak pertamanya dia menyewa rumah di kawasan Sidoarjo dengan harga Rp10 juta per tahun.
"Tapi saya harus nyiapkan Rp20 juta. Sebab, yang punya rumah minta sewanya dua tahun langsung. Sempat bingung juga. Tapi, bagaimana lagi. Apalagi, istri mau lahiran anak kedua," ujarnya.
Selama tinggal di kontrakan itulah Rifai terus gerilya mencari rumah dengan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) bersubsudi. Lagi-lagi, peruntungan Rifai jatuh ke KPR BTN. Tepat di tahun 2017 dia mendapat kabar dari seorang teman tentang rumah bersubsidi di kawasan Menganti, Kabupaten Gresik.
Selain uang muka yang bisa diangsur selama setahun. Cicilan selama lima tahun pertama juga relatif ringan karena bunga tidak berubah. Karena itu, dia kembali mantap menjatuhkan pilihan di KPR BTN.
"Harga rumahnya Rp350 juta, uang mukanya Rp36 juta, tapi boleh diangsur selama setahun. Sedangkan cicilan Rp2,9 juta. Itu tidak berubah selama lima tahun. Setelah itu, naiknya juga tidak tinggi mengikuti bunga bank. Kalau dihitung hanya naik Rp130.000. Kalau KPR lain bisa lebih tinggi," katanya.
Karenanya saat masyarakat bingung diterpa pandemi, Rifai masih bisa tenang. Itu karena angsuran tidak naik terlalu tinggi. "Tetangga saya juga senang. Apalagi saat itu ada relaksasi juga," ujarnya.
Alasan itulah yang membuatnya setia memilih KPR BTN. Dia merasa terbantu di tengah keterbatasan pendapatan sebagai PNS rendahan. Apalagi, istrinya juga hanya ibu rumah tangga tanpa penghasilan. "Senangnya lagi, prosesnya juga cepat," katanya.
Kini Rifai hidup tentram di rumah baru Swan Menganti Mas Regency bersama istri dan dua orang anaknya. Dia berharap kebahagiaan terus menyelimuti keluarga kecilnya, meski tinggal di rumah kecil perantauan.
Misi Sosial untuk Negeri
Direktur Utama Bank BTN Haru Koesmahargyo mengatakan, pihaknya bertekad untuk terus menghadirkan program KPR bersubsidi kepada masyarakat. Program itu dilakukan sebagai misi sosial BTN untuk negeri, terutama untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Selain itu BTN juga mendukung Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera) untuk mempercepat penyediaan rumah layak huni bagi sekitar 9,1 juta MBR di Indonesia. Mereka yakni masyarakat yang memiliki penghasilan di bawah Rp4 juta.
"Hingga saat ini BTN telah mengucurkan pembiayaan rumah kepada lebih dari 5 juta keluarga di Indonesia. Dari jumlah itu, lebih dari 76 persen mengalir ke segmen KPR Subsidi. Sedangkan sisanya untuk KPR non subsidi," ujarnya beberapa waktu lalu.
Program BP Tapera tersebut tentu sangat relevan sebagai bentuk keberpihakan BTN bagi masyarakat kecil (MBR). Pasalnya, sampai saat ini masih banyak MBR di Indonesia yang belum memiliki tempat tiggal layak huni, sekalipun dengan sistem sewa.
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian (PUPR) Herry Trisaputra Zuna mencatat masih ada 5,67 juta unit kebutuhan rumah layak huni bagi MBR tersebut. Karena itu dia berharap, ekosistem perumahan bisa mendukung pembiayaan untuk rumah MBR di negeri ini.
Editor: Ihya Ulumuddin