Nasib Tragis Rumah Radio Bung Tomo, Saksi Perlawanan terhadap Belanda di Surabaya

SURABAYA, iNews.id - Rumah Radio Bung Tomo di Jalan Mawar, Kota Surabaya kini tinggal sejarah. Pertengahan 2016, rumah perjuangan itu dirobohkan setelah diambil alih perusahaan kosmetik. 

Ya, rumah Radio Bung Tomo telah dibeli bos perusahaan kosmetik di Surabaya. Saat bangunan telah berpindah kepemilikan, pihak perusahaan kosmetik mulai melakukan pengerjaan renovasi bangunan tersebut pada 10 April 2016. Padahal, Rumah Radio Bung Tomo ini merupakan salah satu cagar budaya di Kota Pahlawan, sesuai SK Wali Kota Nomor: 188.45/044/402.2.04/1998. 

Baca Juga

Kisah Pramodhawardani, Sempurnakan Borobudur hingga Tumpas Pemberontakan Mataram

Salah satu legiun veteran yang berjuang bersama Bung Tomo, Ahmad Bindusu sangat menyesalkan bangunan bersejarah itu dihancurkan. Pria berusia 100 tahun berpangkat Prajurit Dua (Purnawirawan) itu ingin agar Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya memiliki kepedulian terhadap bangunan cagar budaya. 

"Saya tidak sekolah, saya tidak menulis dan membaca. Tapi saya tahu sejarah dengan mata saya. Kalau bisa dibangun lagi. Tolonglah. Biar anak-anak kecil keturunan kita tahu ceritanya," kata Ahmad Bindusu, Rabu (7/9/2022). 

Baca Juga

Sumber Mata Air Bumi Majapahit Mojokerto, Harapan dari Jatim untuk Kejayaan IKN

Menurut catatan sejarah, Bung Tomo membakar semangat pejuang melalui siaran radionya untuk melawan kolonial Belanda pada pertempuran 10 November 1945. Radio pemberontakan yang resmi mengudara sejak 15 Oktober 1945 ini konsisten mengudara, bahkan hingga pertempuran Surabaya berlangsung di bulan November. 

Bung Tomo sebagai komandan Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI), pernah menjadikan rumah itu sebagai markas perjuangan setelah rumahnya di Jalan Tembok Dukuh tidak lagi aman dari serangan pasukan Inggris dan Belanda. 

Baca Juga

Rumah di Mojokerto Ludes Terbakar, Tumpukan Surat Berharga dan Perhiasan Hangus

"Bung Tomo itu jiwanya luar biasa, jiwa patriot. Dan selalu mengobarkan semagat dengan meneriakkan Allahu Akbar. Kalau sudah mengatakan begitu rasanya bangga," tutur Ahmad Bindusu. 

Meski sudah memasuki usia satu abad, ingatan Amad, panggilan karib Ahmad Bindusu masih tajam. Terutama mengenai sosok Bung Tomo. Dia menceritakan bagaimana Bung Tomo menyuntik semangat para pejuang yang menahan lapar kala berperang. 

"Waktu itu kita tidak punya pakaian. Pakaian seadanya. Kita tidak pernah makan. Makan hanya ambil pisang-pisangnya orang. Surabaya sepi, banyak yang mengungsi," katanya.

Melihat pasukannya banyak yang menahan lapar, Bung Tomo, kata Amad, meminta agar mereka pandai cari makan. "Jadi waktu itu, Bung Tomo selalu mengatakan, celeng itu makan sembarang bisa hidup, masak manusia tidak bisa cari makanan. Akhirnya saya ke kampung-kampung cari makanan. Ada pisang, ada pepaya belum matang, ya dimakan," ujarnya. 

Kenangan-kenangan itulah yang sulit dilupakan Bindusu dari sosok Bung Tomo. Itu sebabnya, dia prihatin, bangunan monumental milik Bung Tomo itu berubah bentuk. 

Bukan hanya veteran Bindusu, sejumlah pemerhati sejarah dan warga Surabaya juga menyayangkan penghancuran rumah radio tersebut. Sebab, meski dibangun lagi, bangunan tersebut sudah kehilangan nilai sejarah. 

Situs 99 mencatat, pada tahun 2017 Ketua PTUN Surabaya Liliek Eko Poerwanto menyebutkan ada tiga pertimbangan yang mengabulkan permohonan pemilik untuk menghapus status cagar budaya yang disandang rumah Bung Tomo tersebut, salah satu, syarat terhapusnya cagar budaya yakni ketika bangunan dimaksud sudah hancur dan tidak ada wujudnya.

Diketahui, rumah tersebut memang sudah tak terurus sebelum dihancurkan. Namun, putra Bung Tomo, Bambang Sulistomo menyanggah hal tersebut. Sebab bagian yang hancur hanyalah paviliun saja, bukan rumah utama.

Editor: Ihya Ulumuddin