Kisah Penyiksaan dan Intimidasi di Tubuh Polisi Hindia Belanda yang Bikin Heboh
Pelanggaran juga melibatkan beberapa pejabat Eropa. Yang dilaporkan saat itu di antaranya kepolisian wilayah Residen Cirebon, Jawa Barat, Probolinggo, dan Jember, Jawa Timur. “Dari 81 pelanggaran yang dilaporkan, kebanyakan (dalam 58 kali pengaduan) dilakukan oleh agen polisi Jawa,” tulis Marieke Bloembergen.
Upaya Kejaksaan Agung untuk menghentikan praktik kekerasan yang dilakukan polisi di Hindia Belanda, tidak sepenuhnya berjalan maksimal. Terdorong untuk melindungi anggota, tidak sedikit pimpinan kepolisian wilayah memberikan laporan sesuai kenyataan. Banyak yang menyampaikan keterangan nihil.
Dari sebanyak 489 pengaduan yang masuk selama Desember 1930 sampai Agustus 1931 dan 1935, 362 aduan di antaranya diberi catatan nihil. Kemudian dari 263 pengaduan, 205 di antaranya juga mendapat keterangan nihil. Artinya catatan nihil sama sekali tidak bermakna.
Keterangan residen yang merujuk dari keterangan korban, kerap kali bertentangan dengan laporan yang dibuat komandan polisi yang cenderung bersikap melindungi bawahannya yang bersalah.
Selain itu, para pimpinan kepolisian juga menempuh upaya memperingan kesalahan bawahan, sehingga jatuh kesimpulan sebagai pelanggaran ringan. Sebab untuk pelanggaran yang terbukti berat, sanksi tahanan, denda, hingga pemecatan siap menanti.
“Ringan di sini dimaksudkan adalah tamparan satu atau beberapa kali, biasanya di wajah, satu kali pukulan ke kepala, satu kali dengan tambahan didorong secara kasar sampai korban terjatuh,” demikian mengacu pada ANRI, BB,inv.nr.3403, Yogyakarta.
Sementara tindak kekerasan dalam interogasi yang digolongkan pelanggaran berat adalah menendang dan memukul, memukul dengan tongkat karet atau tongkat besi sehingga berakibat fatal, bahkan tewas. Di sisi lain, tidak semua residen aktif mengawasi sekaligus melaporkan dugaan adanya pelanggaran kepolisian.
Yang terungkap kemudian, polisi yang melakukan kekerasan dan dijatuhi hukuman ringan serta denda diketahui memiliki riwayat ringan tangan. Dugaan adanya kekerasan yang dilakukan secara sistemik menjadi sulit dibuktikan. Begitu juga dengan peran dan tanggung jawab pimpinan tertinggi kepolisian (komandan detasemen dan komisaris polisi), tampak sangat kabur.
Di internal kepolisian, terutama di tingkat pimpinan tidak terlihat upaya mencegah atau menunda pendayagunaan kekerasan. “Padahal merekalah yang sebenarnya bertanggung jawab atas pengawasan penataan disiplin serta kualitas kepolisian,” tulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda Dari Kepedulian dan Ketakutan.
Editor: Ihya Ulumuddin