Kisah Pangeran Diponegoro dengan Sosok Perempuan China, Begini Fakta Sebenarnya
MALANG, iNews.id - Pangeran Diponegoro konon pernah dikabarkan berinteraksi dengan perempuan China sehingga membuat kesaktiannya hilang. Beberapa sumber dari Babad Diponegoro versi Peter Carey, bahkan secara gamblang menyebut sang pangeran tidur dengan perempuan China tersebut.
Peristiwa ini terjadi ketika sang pangeran sedang dalam kondisi berperang dan beristirahat di suatu daerah.
Sekretaris Umum Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patra Padi) Pandu Setyawan mengakui momen Pangeran Diponegoro berinteraksi dengan perempuan China yang disebutnya Nyonya China ini memang terjadi. Tetapi hal itu bukanlah seperti yang dituliskan Peter Carey dan informasi sejarah yang beredar. Apalagi Pangeran Diponegoro merupakan sosok religius yang sejak kecil belajar agama Islam.
"Kita Lihat backgroundnya dari kecil dididik para ulama, merantau dari pesantren ke pondok pesantren. Artinya beliau punya basic agama terkait konsep lawan jenis," ujar Pandu Setyawan, Sabtu (21/10/2023).
Dia juga menyangsikan Peter Carey perihal Pangeran Diponegoro yang tidur dengan perempuan China bukan mahramnya. Sebab sejak kecil, memang sang pangeran taat beragama Islam.
Bahkan ketika dia dan pasukannya membuat markas besar di Gua Selarong, Pangeran Diponegoro memisahkan antara gua laki-laki dan perempuan.
"Di Selarong pun dibedakan, antara gua laki-laki dan perempuan. Itu masalah remeh-temeh yang basic itu diperhatikan. Ini masalah mahram laki-laki perempuan. Masalah mahram," ucapnya.
Apalagi mengacu pada sumber Babad Diponegoro Manado-Makassar Pupuh XXVII Sinom disebut Pandu, sang pangeran menulis 'Aneng ing daren punika, pan dalu kinen meteki, kang boyongan nyonyah Cina, Kangjeng Sultan salah kardi' yang ketika diterjemahkan intinya peristiwa itu saat sang pangeran lelah dan akhirnya meminta pijat oleh perempuan China yang disebut Nyonya China.
"Perempuan China itu tawanan perang, tapi versi keluarga itu bukan tawanan perang. Bisa jadi dia itu pembantu, tukang cuci, bisa jadi tukang laundry, kalau dihubungkan 1800-an ini secara logika banyak merantau orang China ke Jawa, selain bekerja juga berdagang, bisnis laundry, jadi pembantu, tapi tidak disebutkan itu asal-usulnya dari mana," ucapnya.
Jika itu tawanan perang kata Pandu, sesuai aturan fikih hukum Islam memang hukumnya boleh diperintah apa pun. Bahkan jika tawanan perang itu tidak menurut atau memberontak boleh dibunuh. Tetapi Pangeran Diponegoro tetap memberlakukan tawanan perang itu dengan baik.
"Intinya kejadian (Pangeran Diponegoro dipijat perempuan Cina) di Kedaren, suatu nama daerah, itu di suatu malam, garis besarnya di suatu malam saat ngatur macam-macam, ngatur perang konsolidasi capek istirahat, meteki itu memijat," katanya.
Pada kondisi badan sangat lelah, konsentrasi yang sudah hilang, membuat Pangeran Diponegoro meminta perempuan China itu untuk memijat badannya. Peristiwa ini digambarkan terjadi di sebuah tenda ketika malam hari.
"Istilahnya orang kalau capek berat itu fokusnya menurun, nggak sadar kalau nggak nggeh, bukan muhrimnya. Akhirnya merasa bersalah dan mengkhianati istri-istrinya. Jadi istilah meteki itu memijat," ujarnya.
Editor: Donald Karouw