get app
inews
Aa Text
Read Next : Asal Usul Wangsa Sailendra, Raja Gunung yang Menggetarkan Jawa Kuno

Kisah Mbah Djugo, Tabib Sakti yang Menyembuhkan Kolera di Tanah Jawa

Senin, 12 Juli 2021 - 06:21:00 WIB
Kisah Mbah Djugo, Tabib Sakti yang Menyembuhkan Kolera di Tanah Jawa
Kisang Mbah Djugo, tabib sakti yang menyembuhkan penyakit kolera di Tanah Jawa. (Foto: Istimewa) 

Air di dalam wadah yang beragam tersebut diletakkan di depan Mbah Djugo. Laki-laki tua itu hanya diam. Semua wadah air itu hanya dipandangnya. 

Sejurus kemudian, warga dimintanya membawa air itu pulang. Air diminumkan kepada si sakit. Juga dioleskan pada tubuh yang dianggap sakit. Ajaib, dalam waktu singkat semua berangsur-angsur sembuh, sehat seperti sedia kala.

Kabar munculnya Mbah Djugo dengan cepat menyebar ke desa-desa lain. Ke arah Timur bergetok tular sampai wilayah Sumberpucung dan Kepanjen (Wilayah Kabupaten Malang). Ke barat menyebar sampai wilayah Wlingi hingga Kota Blitar. Nama Mbah Djugo menjadi buah bibir. Diucapkan di mana-mana dengan penuh hormat.

"Tidak lama wabah penyakit kolera yang meliputi seluruh daerah Blitar, Tulungagung, Kediri, Wlingi, Kepanjen, Malang dan desa-desa sepanjang pesisir laut selatan telah terbasmi musnah. Rakyat negeri telah kembali tentram hidupnya," tulis Im Yang Tju. 

Popularitas nama Mbah Djugo sebagai tabib sakti sekaligus orang pintar yang gemar menolong sampai ke telinga Bupati Blitar Kanjeng Pangeran Warsokusumo. Di Desa Djugo. Sebagai terima kasih dan hormatnya kepada Mbah Djugo, Bupati Blitar memberi hadiah sebidang tanah. Di atas tanah bebas pajak tersebut didirikan sebuah rumah yang dalam perjalanannya menjadi padepokan. 

Sejak itu Mbah Djugo yang juga dikenal dengan panggilan Ki Ageng Djugo atau Panembahan Djugo berhenti berkelana. Dia menetap di Desa Djugo. Mulai dari rakyat jelata hingga priyayi pejabat yang datang  untuk mencari kesembuhan penyakit, mengalir tak putus-putus. Konon, dengan kehadiran Mbah Djugo, Gunung Kelud yang rutin meletus dan menimbulkan banyak korban jiwa, juga berhenti erupsi. 

Hingga pada tahun 1901, Gunung Kelud tiba-tiba kembali meletus dan terulang lagi pada tahun 1919. Ribuan penduduk Blitar banyak yang menjadi korban. Peristiwa alam tersebut terjadi setelah Mbah Djugo hijrah ke Gunung Kawi, tepatnya tahun 1876.

Padepokan Mbah Djugo di Desa Djugo, Kecamatan Kesamben ditinggalkan. Dengan berbekal kayu dari hutan Brongkos, Kecamatan Kesamben, Mbah Djugo mendirikan padepokan di lereng Gunung Kawi. 

Di bawah gunung setinggi 2.860 meter, lokasi padepokan bertempat di Dusun Wonosari, Desa Ngajum, Kecamatan Kepanjen, Kabupaten Malang. Di sekelilingnya banyak tumbuh rindang pohon cendana, nagasari, dewandaru, margoutomo, kepel, blimbing, kukusan, jambu dan cerme. Mbah Djugo ditemani Mbah Iman Sudjono putra angkatnya yang konon berasal dari trah priyayi Mataram. 

Gunung Kawi yang berlokasi jauh dan sepi, sontak berubah ramai. Mereka yang ingin bertemu Mbah Djugo datang dari mana-mana. Tidak hanya warga Jawa Timur. Yang datang dari luar Jawa, juga tidak sedikit. Bahkan banyak di antaranya etnis Tionghoa. Tidak hanya mencari obat kesembuhan atas penyakit yang diderita. Berbagai persoalan hidup juga disampaikan kepada Mbah Djugo untuk dimintakan jalan keluar. 

Sebagai wujud rasa syukur. Mereka yang harapannya terkabul seringkali membuat tumpeng untuk dimakan bersama. Dalam perjalanan  ungkapan rasa syukur tersebut menjadi tradisi mereka yang datang ke Gunung Kawi. Tahun 1879, tepatnya Minggu Legi, bulan Selo (Penanggalan Jawa), Mbah Djugo tutup usia. Sebelum menghembuskan nafas terakhir, Mbah Djugo menjalani laku tapa Ngelowong, yakni tidak makan minum dan hanya menghirup udara selama 36 hari.

Editor: Donald Karouw

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut