Kisah Keberanian Bung Hatta, Hentikan Kebiasaan Jepang Tempeleng Kepala Orang Indonesia
Pemerintah Jepang mewajibkan tradisi saikerei kepada pegawai pemerintah, murid sekolah dan masyarakat dalam upacara rutin dan setiap upacara resmi. Saat membungkukkan badan, mereka juga diharuskan mengucap sumpah yang intinya bertekad bulat dan taat berjuang bersama Jepang.
Hatta menjelaskan jika ritual saikeirei menyerupai rukuk dalam ibadah Islam. Menghormat dengan cara saikeirei sama halnya melebih tinggikan Tenno Heiko daripada Allah. Hatta secara tidak langsung menyampaikan aspirasi aktifis Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yakni cikal bakal Masyumi yang menolak saikeirei.
“Hatta mengemukakan bahwa cara saikeirei ini menusuk hati umat Islam, karena dihubungkan dengan rukuk tadi,” tulis Deliar Noer dalam Mohammad Hatta Biografi Politik.
Dalam praktiknya, penjajah Jepang tetap memberlakukan saikeirei. Mereka yang menolak, seringkali diperlakukan kasar. Dalam catatan sejarah, Haji Abdul Karim Amrullah (1879- 1945), yakni ayah Hamka menolak saikeirei. Demikian pula Hadratussyaikh Hasyim As’yari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), juga melakukan sikap sama.
Dalam perkembangannya, Hatta melihat Jepang tidak lagi membiarkan pergerakan rakyat berkembang. Rakyat dilarang berkumpul dan berserikat. Pada Juli 1942 Jepang membubarkan semua perkumpulan. Hal itu membuat sikap rakyat kepada Jepang berubah.
Rakyat yang semula menyambut hangat kedatangan Jepang, termasuk mengibarkan merah putih bersanding Hinomaru serta sorakan banzai, berubah dingin. Sejarah mencatat, paska peristiwa bom atom Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan disusul Nagasaki pada 9 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu.
Kekosongan kekuasaan itu dimanfaatkan para pemimpin pergerakan Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan. Pada 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditandatangani Soekarno dan Mohammad Hatta berkumandang di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat.
Editor: Ihya Ulumuddin