Kisah Iklan Wisata Perempuan Jawa Telanjang di Masa Kolonial Belanda

BLITAR, iNews.id - Kisah iklan wisata bergambar perempuan Jawa telanjang di masa Kolonial Belanda menarik diulas. Gambar atau potret itu sengaja dipakai Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk mengembangkan sektor pariwisata.
Keindahan tubuh wanita pribumi Jawa digunakan sebagai sarana iklan promosi wisata dengan tujuan menarik minat wisatawan asing. Pada tahun 1887 ketelanjangan wanita Jawa yang dibingkai dalam foto juga dipakai untuk propaganda sektor pertahanan.
Lewat foto-foto erotis itu, pemerintah kolonial mencoba menarik minat para pemuda Belanda agar bersedia menjadi prajurit cadangan di Hindia Belanda.
“Tentu saja gambar-gambar itu mendapat sambutan antusias, termasuk salah seorang pemuda, Alexander Cohen yang tertarik menjadi tentara cadangan di Hindia Belanda,” demikian dikutip dari buku Bukan Tabu Nusantara (2018).
Setiba di Hindia Belanda dan mendaftar sebagai tentara, keindahan yang dibayangkan Alexander Cohen ternyata tidak sesuai dengan kenyataan surga dunia yang ditawarkan. Cohen yang kelak menjadi prajurit pemberontak dan sempat dijebloskan ke dalam penjara militer Hindia Belanda merasa tertipu oleh janji surga pemerintah kolonial.
Dia menemukan fakta berbeda terkait potret telanjang wanita pribumi Jawa yang telah membakar gairahnya sekaligus menuntunnya mendatangi Hindia Belanda. “Gambar-gambar perempuan pribumi telanjang itu hanya rekayasa para juru potret”.
Potret perempuan pribumi Jawa telanjang atau setengah telanjang itu dibuat di studio. Gaya sensual dan vulgar dari hasil mengikuti arahan fotografer itu sengaja dibuat untuk menarik minat mata lelaki.
Yang membuat Cohen kaget, dalam suratnya yang ditulis bersambung, ia menyebut model yang dipakai dalam foto telanjang itu adalah para pelacur atau pelaku prostitusi.
“Pendapat Cohen disetujui pula oleh Rob Nieuwenhuys yang mengecam beberapa oknum pemerintah kolonial yang menggunakan koleksi foto-foto telanjang itu dengan dalih rubrik volkstypen (tipe penduduk)”.
Ironisnya potret-potret perempuan pribumi Jawa telanjang atau setengah telanjang itu laku keras sekaligus menghasilkan banyak uang di Eropa. Pada pengembangan sektor pariwisata, foto telanjang itu mendapat sambutan antusias.
Di dalam acara pameran Exposition Universelle di Paris tahun 1889, potret dan kartu pos dalam tampilan le village Javanis (kampung Jawa) yang dikirimkan pemerintah Belanda, telah menarik perhatian pengunjung.
Potret penari Jawa yang setengah telanjang membuat pengunjung penasaran dan ingin menyaksikan langsung penampilan itu di depan umum, yakni di Hindia Belanda.
Saat itu ketelanjangan di muka umum dari negeri Timur sebagai sesuatu yang luar biasa. Pameran yang berlangsung enam bulan itu menyedot 875.000 pengunjung. Mereka pun tertarik untuk mengunjungi Hindia Belanda.
Banyak pengunjung yang terpikat dengan penampilan penari-penari muda seperti Damina, Wakiem, Sariem, dan Soekia yang baru berusia 12 hingga 16 tahun.
“Bahkan seorang penyair Baudelaire mengungkapkan kekagumannya dengan menulis La Belle Wakiem (Wakiem yang cantik. Sajak ini pun sempat dimuat di Java Bode pada 9 Agustus 1893,” demikian dikutip dari Koloniale Inspiratie (Leiden: KITLV, 2004).
Dalam perjalanannya, pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada tahun 1920-1930-an kembali memakai imaji eksotisme perempuan pribumi untuk membuat iklan-iklan pariwisata.
Termasuk iklan-iklan untuk perusahaan pelayaran tahun 1920-an, pemerintah kolonial Hindia Belanda memanfaatkan kebiasaan perempuan Bali yang bertelanjang dada sebagai sarana promosi.
Demikianlah cara kolonialisme Hindia Belanda menggunakan kemolekan perempuan pribumi sebagai komoditi pengembangan sektor pariwisata dan pertahanan.
Editor: Ihya Ulumuddin