Kisah Ario Soerjo, Gubernur Pertama Jawa Timur yang Lantang Menentang Gertakan Sekutu

JAKARTA, iNews.id - Jawa Timur (Jatim) dikenal sebagai daerah yang melahirkan banyak pahlawan nasional. Selain Bung Tomo yang dikenal dengan pidatonya saat perang melawan Inggris pecah di Surabaya pada 10 November 1945, terdapat sosok lain yang turut memiliki peranan penting dalam melawan penjajah.
Dia adalah Ario Soerjo, gubernur Jatim pertama yang lantang melawan rencana Inggris menjajah kembali Indonesia saat mendarat di Surabaya.
Pria bernama lengkap Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo itu lahir di Magetan pada 9 Juli 1895. Dia merupakan putra dari pasangan Raden Mas Wiriosoemarto, seorang jaksa di Magetan, dan Raden Ayu Koestiah, adik bupati Madiun saat itu, Raden Ronggo Koesnodiningrat.
Dia mulai menjabat sebagai gubernur Jatim usai Indonesia merdeka. Dia diangkat oleh Presiden pertama Soekarno untuk memimpin wilayah di sisi timur Pulau Jawa.
Sebagai gubernur, Ario Soerjo dikenal sebagai pribadi yang berani dan tegas, namun tetap mengayomi rakyatnya. Terlebih, dia memiliki banyak pengalaman di pemerintahan karena sempat menjabat wedana di Porong, Sidoarjo, dan bupati di Magetan.
Sesaat setelah menjabat gubernur, Soerjo langsung memberihkan sisa pasukan Jepang di Surabaya. Lalu pada 25 Oktober 1945, Inggris di bawah pimpinan Brigadir Aubertin Walter Sothern (AWS) Mallaby mendarat di Surabaya.
Mallaby saat itu meminta Soerjo untuk berunding di kapal milik Inggris. Akan tetapi sang kepala daerah menolak, karena dia berkeyakinan Inggris harus menghormati Indonesia sebagai negara yang berdaulat.
Para pemuda melakukan penyerangan terhadap pos-pos pertahanan Inggris di Surabaya. Mallaby semula berjanji tidak akan melucuti para pemuda, namun dia ingkar.
Akibatnya para pemuda melawan dan pertempuran berlangsung. Peristiwa itu pun menewaskan Mallaby.
Soerjo menolak datang ke kantor Mansergh pada 8 November 1945. Alasannya, surat undangan yang dilayangkan ditujukan kepada Tuan RMTA Soerjo, bukan gubernur Soerjo.
Akibatnya, Mayjen EC Mansergh menyatakan Inggris tidak mengakui kepemimpinan Ario Soerjo di Jatim. Jenderal Inggris itu juga menuding Soerjo dan bawahannya gagal menjalankan kesepakatan pusat karena menghalang-halangi sekutu melucuti senjata Jepang dan mengevakuasi warga Eropa.
Sejak saat itu, hubungan Soerjo dan sejumlah petinggi Inggris di Surabaya semakin memburuk.
Lantas, Inggris mengultimatum penduduk Surabaya yang memiliki senjata api untuk menyerahkannya paling lambat 10 November 1945 pukul 06.00 WIB. Jika tidak, Inggris mengancam akan menggerakkan kekuatan darat, laut, dan udara untuk menguasai Surabaya.
Namun, Soerjo berpidato di radio supaya rakyat tetap tenang menunggu hasil perundingan Menteri Luar Negeri Ahmad Subarjo dengan Inggris pada 9 November 1945. Namun perundingan itu gagal.
Rakyat sepakat menolak ultimatum Inggris hingga pada 10 November 1945 perlawanan pecah. Surabaya dibombardir dari laut, darat, hingga udara.
Pertempuran itu membuat Soerjo memutuskan memindahkan pemerintahan ke Mojokerto, lalu ke Malang. Hingga akhirnya perang berakhir pada 20 November 1945. Meski menjadi gubernur, Soerjo tetap membantu membersihkan kekacauan setelah perang.
Dia menginggal dunia tiga tahun berselang pada November 1948. Dia tewas dibunuh di Kali Kakah, Ngawi, oleh simpatisan PKI pimpinan Moeso.
Editor: Rizky Agustian