Keluarga Korban Minta Tragedi Ponpes Al Khoziny Diusut: Kami Ingin Kepastian dan Keadilan

SIDOARJO, iNews.id – Keluarga korban tragedi musala ambruk di Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Kabupaten Sidoarjo, meminta polisi untuk mengusut tuntas penyebab runtuhnya bangunan empat lantai tersebut. Mereka menegaskan yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar belasungkawa, tetapi kepastian dan keadilan bagi keluarga korban.
Hal ini diungkapkan salah satu keluarga korban, Hamida Soetadji warga Sedati, Sidoarjo. Dia mengungkapkan hingga hari ke-9 pascakejadian, cucu keponakannya, Mochamad Muhfi Alfian (16) santri kelas 1 SMA Ponpes Al Khoziny belum ditemukan ataupun teridentifikasi tim DVI Polda Jawa Timur.
“Korban ini anak sulung dari pasangan Jayanti Mandasari dan Andre Wilis. Hingga hari kesembilan, belum diketahui keberadaannya. Kami hanya ingin kepastian dan keadilan,” ujar Hamida dikutip dari iNews Surabaya, Selasa (7/10/2025).
Hamida mengaku kecewa lantaran pihak pengurus Ponpes Al Khoziny, termasuk pimpinan utama, belum pernah menemui para wali santri sejak terjadinya tragedi.
“Hanya pengurus ponpes yang muncul, sementara kiai utamanya tidak pernah menemui wali santri. Pendataan pun tidak dilakukan dengan baik,” ucapnya.
Menurutnya, seharusnya ponpes memiliki data santri yang lengkap dan akurat, namun fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya. Saat proses pencarian korban dilakukan, data antara pihak ponpes dan Basarnas tidak sinkron, sehingga memperlambat proses identifikasi.
“Data santri seharusnya tersimpan di database ponpes, tapi ternyata tidak diperbarui. Basarnas bahkan harus mencari data sendiri. Ada ketidaksesuaian antara data ponpes dan data posko,” katanya.
Hamida juga menuturkan, keluarganya sempat mengalami kesulitan ketika petugas datang ke alamat lama di Surabaya, padahal mereka telah melaporkan perubahan alamat ke ponpes sejak enam bulan lalu.
“Artinya data santri tidak pernah diperbarui. Kami sudah laporkan perubahan alamat, tapi tidak ada tindak lanjut,” katanya.
Dia menambahkan, banyak wali santri mengalami hal serupa, namun memilih diam karena takut atau merasa tidak punya posisi kuat untuk menuntut kejelasan. Komunikasi dengan pihak ponpes pun disebut sangat minim.
Editor: Donald Karouw