Cerita Kiai Sadrach, Jadi Pendeta di Tanah Jawa usai Belajar di Pesantren
Tekat tersebut didorong semangat untuk belajar, sekaligus menemukan tempat tinggal dan menyambung hidup. Salah satu pilihan dia keluar masuk pesantren.
Kala itu, pesantren menjadi tempat orang-orang untuk belajar agama secara utuh. Maksudnya, belajar ilmu sekaligus menyambung hidup dan mencari makan. Semua dilakukan secara total di dalam pesantren.
Pesantren juga tidak pernah menolak siapa pun yang mau nyantri, walau tak punya bekal untuk biaya pendidikan selama di pesantren.
Saat menjadi santri di Jombang, Radin menambahkan nama belakangnya Abas. Namanya menjadi Radin Abas. Ada yang menyebut penambahan nama ini terpengaruh nama-nama Arab. Dia juga menjadi seorang pengkhotbah di daerah-daerah yang menjadi persinggahan.
Radin Abbas mencari pengikut. Sejak aktif memberi khutbah-khutbah itu, dia mendapat julukan baru sebagai kiai. Kiai Sadrach Surapranata, lengkapnya.
Sebagai kiai, Sadrach juga banyak meninggalkan kenangan berupa warisan ilmu. Salah satunya buku catatan setebal 200 halaman yang disimpan di Karangjoso, Purworejo, Jawa Tengah.
Konon, buku tersebut dia tulis dalam bahasa Arab. Buku tersebut berisi tasawuf, silsilah raja-raja Islam, transkripsi mistik dari nama Nabi Muhammad SAW (mengulas huruf-hurufnya yang mengandung banyak makna), dan dialog antara Sunan Kalijaga dengan Sunan Bonang mengenai kehidupan di alam kubur.
Editor: Ihya Ulumuddin