get app
inews
Aa Text
Read Next : Pertempuran Tegal dan Cilacap, Jejak Perlawanan ALRI Terhadap Agresi Militer Belanda 1947

Cerita Berdarah Puputan Klungkung, Pesta Kematian di Balik Keindahan Pulau Bali

Rabu, 22 Juni 2022 - 14:28:00 WIB
Cerita Berdarah Puputan Klungkung, Pesta Kematian di Balik Keindahan Pulau Bali
Ilustrasi perang Puputan di Bali. (repro).

Dewa Agung Gede juga menyerahkan dua daerah terpentingnya, yakni Abeansemal dan Sabang yang terletak di antara Gianyar dan Tabanan. Meski sepintas tampak patuh, berbagai persyaratan di luar batas yang diterapkan kompeni Belanda itu diam-diam menimbulkan rasa dendam. “Maka bisa dianggap wajar bila dendam tumbuh sejak saat ini,” kata H H Van Kol.

Di tengah berlangsungnya insiden kecil yang mengacaukan kepentingan pengelolaan opium, Belanda semakin meningkatkan kesewenang-wenangannya. Belanda meminta semua senjata diserahkan. Kemudian semua jenis benteng pertahanan harus diruntuhkan sampai rata dengan tanah. Semua yang dimiliki penguasa Klungkung, dirampas.

Dewa Agung Gede habis kesabaran dan memutuskan melawan. Dia mendapat sokongan kekuatan dari Tjokorda Gelgel, yakni pangeran atau penguasa di bawah raja. Saat kompeni Belanda menyerbu Puri, perang pun tak bisa terlelakkan lagi. Pertahanan Puri Klungkung diperkuat dengan membuat lubang-lubang yang dikamuflase dengan tanaman pohon dan tanah liat.

Meski banyak bangunan yang runtuh, lubang yang ada mampu menyelamatkan rakyat Klungkung dari bombardir peluru kapal perang kompeni Belanda. Kendati demikian penjajah Belanda pada akhirnya berhasil merebut Puri Kerajaan sekaligus memasang meriam-meriam dan senapan yang siap ditembakkan. Melihat itu semua, mereka yang semula hendak melawan terdiam seketika.

Saat yang genting pada 18 April 1908 itu, raja Dewa Agung Gede dengan berpakaian putih tiba-tiba muncul. Di tangan kanannya menghunus sebilah keris. Sebanyak 200-an orang yang sebagian terdiri atas perempuan dan anak-anak berada di sekelilingnya. Mereka telah memutuskan melakukan Puputan, yakni melawan sampai titik darah penghabisan, sampai ajal menjemput.

Berjarak sekitar 200 meter dari meriam Belanda, Dewa Agung Gede lantas menancapkan keris sucinya ke tanah. Konon, tanah pun sontak menganga dan menelan sebagian besar pasukan kompeni Belanda. Namun tiba-tiba sebuah peluru meriam Belanda menyambar lututnya. Dewa Agung Gede yang jatuh terjengkang kembali bangkit dan maju melawan sampai tewas.

Editor: Ihya Ulumuddin

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut