Ilustrasi Pangeran Diponegoro. (istimewa).

Kemarahan Diponegoro terhadap kolonial Belanda sudah menumpuk. Ia juga geram melihat Residen Yogya terus berusaha memajukan adat dan pakaian Eropa di lingkungan keraton.

Kekesalannya semakin tidak bisa didamaikan begitu tahu semakin banyak tanah yang disewakan kepada orang Eropa. Tanah-tanah dipakai bisnis perkebunan.

Situasi sosial itu yang membuat Diponegoro semakin jarang mendatangi keraton Yogyakarta yang dianggapnya berafiliasi dengan Belanda.

“Residen dan patih menetapkan putusan-putusan dan menjalankan tindakan-tindakan  dengan tidak berunding lebih dahulu dengan Diponegoro dan Mangkubumi. Hal ini menambah kemarahan Diponegoro”.

Pangeran Diponegoro mengambil langkah dengan membangun pesanggrahan di kawasan Desa Dekso. Lokasi untuk markas pasukannya itu berada di atas pertemuan sungai Tinalah dan sungai Klegung.

Pesanggrahan itu dikonsep sebagaimana sebuah pemerintahan tradisional keraton yang mengambil tempat alam terbuka. Nicolaus Engelhard menuliskan bahwa Diponegoro memiliki kerangka pikir yang mengarah pada pembentukan keraton baru. 

Pangeran Bei Joyokusumo bersama Kiai Mojo dan Pangeran Mangkubumi bersepakat mengangkat Pangeran Diponegoro sebagai raja bagi rakyat yang tidak suka terhadap Belanda dan keraton Yogyakarta.

Pangeran Diponegoro mendapat gelar baru Sultan bagi rakyat Jawa yang tertindas. Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) berakhir dengan ditangkapnya Diponegoro di Magelang.

Pada 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dalam pembuangan di benteng Rotterdam di Makassar.  


Editor : Ihya Ulumuddin

Sebelumnya
Halaman :
1 2 3

BERITA POPULER
+
News Update
Kanal
Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik Lebih Lanjut
MNC Portal
Live TV
MNC Network