Sebanyak 186 prajurit Eropa, 500 Madura dan 1.600 prajurit Surabaya, Bangil dan Pasuruan dikerahkan Kapten Casper Ledowijk Tropponegro untuk memburu mereka. Pertempuran pecah di Rajegwesi (sekarang Bojonegoro) yang membuat Raden Mas, putra Pangeran Singasari terpaksa harus keluar dari Rajegwesi.
Bersama Pangeran Singasari, ayahnya Raden Mas bergeser ke wilayah selatan. Mereka berada di Samperak, utara Lodalem dan bergabung dengan pemberontak lain. Mereka berencana kembali ke Malang. Sementara Malayakusuma dan Tirtanagara berada di Sambi Geger, barat daya Samperak.
Belanda mengerahkan seluruh kekuatan dan sekutunya untuk mengepung dari segala sisi. Dari Srengat pasukan koalisi Belanda menuju Blitar, berlanjut ke Selagurit untuk langsung menyerang lawan yang dalam posisi terjepit. Dari Kediri, Bupati Kediri juga menyiapkan pasukan, ikut memperkuat Belanda.
Belum lagi tambahan pasukan dari Raja Mataram. Pertempuran antara Belanda dengan koalisi keturunan Surapati dan Pangeran Singasari beserta Raden Mas anaknya, berlangsung hampir satu tahun. Pada 16 Juli 1768, Pangeran Singasari atau Parabujaka menyerah di Dapat, tenggara Lodalem, Kabupaten Malang.
Pengeran asal Mataram yang menolak pembagian kerajaan itu ditangkap bersama istri, dua anak perempuan dan anak laki lakinya yang masih kecil. Semua dibawa ke Semarang dan tiba 5 Agustus 1768. Sementara Raden Mas, putranya yang besar berhasil melarikan diri bersama Tirtanagara.
Setelah 30 hari sejak ayahnya ditangkap, Raden Mas yang terluka parah terkepung prajurit Kompeni di daerah Rawa (Sekarang Tulungagung). Dia memilih menyerahkan diri kepada prajurit Sultan Mataram dan langsung digelandang ke Yogyakarta. Belanda membawa Raden Mas ke Semarang untuk dijebloskan ke penjara.
Sementara Pangeran Singasari, ayahnya diekstradisi ke Batavia. Singasari atau Prabujaka dibawa bersama dua anak perempuannya serta seorang putra remajanya. Dengan tertangkapnya Pangeran Singasari dan putranya (Raden Mas), pengejaran Belanda terfokus kepada Bupati Malang Malayakusuma.
Perburuan dilakukan di sepanjang pesisir selatan. Sebab melalui telik sandi Belanda mendapat kabar cucu Surapati tersebut hendak menuju Blambangan (sekarang Banyuwangi). Malayakusuma bersama keluarganya yang sebagian besar perempuan dan anak-anak terkepung di Sabak, dekat Lodalem.
Malayakusuma menyerah dan digelandang menuju Malang.
Di saat beristirahat di pinggir pantai, Malayakusuma tiba-tiba merebut sebatang tombak dan menusuk Kopral Smid Van Stam hingga tewas. Melihat itu, seorang pelayan prajurit Belanda sontak mencabut sebilah keris. Malayakusuma langsung ditikamnya sehingga cucu Surapati tersebut tewas seketika.
Si pelayan dengan marah melempar jasad Malayakusuma ke laut. Rombongan lalu melanjutkan perjalanan dengan tawanan yang tersisa. Pada 16 November 1768 mereka tiba di Wanapala. Dua anak Malayakusuma yang masih muda dibunuh sedangkan enam perempuan, satu anak dan seorang pelayan dikirim ke Surabaya.
Sementara Tirtanagara, adik Malayakusuma yang termuda ditawan pasukan Kompeni di Antang (Sekarang Ngantang). Buntut dari pemberontakan Malang dan Lumajang para keturunan dan pengikut Surapati di Blambangan ditangkapi. Begitu juga di Malang. Seluruh keturunan Surapati dan keluarganya ditawan.
Karena dianggap subversif, seluruh keturunan Surapati dan keluarga yang ditangkap kemudian dijatuhi hukuman mati. Mereka yang selamat dalam pemberontakan Malang dan Lumajang bersembunyi di wilayah Sultan Mataram.
Namun dua tahun kemudian, atas perintah otoritas Belanda di Semarang, Sultan melakukan operasi penangkapan mereka yang teridentifikasi sebagai keturunan Surapati. Sebanyak 21 orang yang dianggap sebagai kelompok terakhir keluarga Surapati ditangkap.
"Ekspedisi militer Belanda ke Ujung Timur Jawa bertujuan melenyapkan para keturunan Surapati dan melenyapkan mereka dari politik Jawa secara permanen," tulis Ann Kumar dalam Surapati Man and Legend, A Study of Three Babad Traditions.
Editor : Maria Christina
Artikel Terkait