BLITAR, iNews.id - Sejarah mencatat Kolonial Belanda pernah membersihkan seluruh keturunan Untung Surapati beserta pengikutnya. Belanda mengerahkan kekuatan orang-orang Madura, Surabaya, dan tentara Eropa demi menghabisi Surapati dan seluruh keturunannya.
Belanda menerapkan gagasan tumpes kelor, yakni menumpas seluruhnya, baik akar maupun batang. Operasi perburuan keturunan Surapati dilakukan hingga ke Ujung Timur Jawa.
Dalam operasi militer besar-besaran itu, sedikitnya 57-an orang ditangkap. Mereka dibawa ke Semarang untuk dipenjara. Tidak sedikit keturunan Surapati yang tewas, tapi ada juga berhasil lolos.
Untung Surapati diketahui memiliki banyak keturunan, terutama di wilayah Jawa Timur. Mereka tersebar di daerah Malang, Lumajang dan sekitarnya.
"Mereka terus melancarkan perlawanan hingga Belanda melakukan kampanye militer ke Ujung Timur Jawa pada tahun 1767-1768," tulis Sri Margana dalam buku "Ujung Timur Jawa, 1763- 1813 Perebutan Hegemoni Blambangan".
Babad Tanah Jawi menyebut, Surapati yang berdarah Bali lahir tahun 1660. Ada fase dalam hidup Surapati menjadi budak (pembantu) seorang Belanda di Batavia. Lantaran sejak ada Surapati sang majikan merasa kerap beruntung, kehadiran Surapati disukai.
Surapati yang dianggap memiliki kesaktian mendapat panggilan Untung. Namun masa kondusif tersebut tidak berlangsung lama. Dari yang semula disayangi, status Surapati berubah menjadi tawanan. Ia dijebloskan penjara hanya gara-gara ketahuan menjalin hubungan intim dengan putri sang majikan.
Namun, Surapati berhasil menerobos tembok penjara dengan membawa serta tahanan lain. Sejak itu Belanda melihatnya sebagai laskar pengacau di wilayah Priangan, Jawa Barat.
Ruys, seorang Kapten Kompeni dikirim untuk melakukan pendekatan. Kapten Ruys berhasil membujuk Surapati bergabung dengan Kompeni. Namun tak lama berdinas, Surapati kembali membuat ulah.
Perselisihannya dengan Pembantu Letnan (vaandrig) Williem Kuffler telah menewaskan 20 orang Belanda. Sejak itu ia kembali menjadi laskar pengacau yang terus-menerus bermusuhan dengan Belanda. Karena terdesak, Surapati bersama pasukannya memutuskan bergeser ke arah timur.
Sejawaran Belanda Hermanus Johannes de Graaf dalam buku "Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad XVII" mengatakan, Surapati bukanlah satu-satunya komandan laskar petualang di daerah perbatasan. Namun, dia dianggap jagonya yang paling unggul.
Sejak berselisih dengan Willem Kuffeler serta dianggap bertanggung jawab atas kematian Kapten Francois Tack di Kartasura, Belanda terus menaruh dendam kesumat kepada Surapati. Dalam kemelut suksesi raja Jawa (1704), dendam itu makin menyala. Surapati berdiri di pihak Amangkurat III yang saat itu berperang melawan Pakubowono I yang dibekingi Belanda.
Tahun 1686, Surapati mendirikan keraton di Pasuruan, Jawa Timur, yang tidak tunduk pada kekuasaan siapa pun termasuk kolonial Belanda. Sebelum menutup mata, Surapati melakukan pertempuran di Bangil, yang sekarang masuk wilayah Kota Pasuruan.
Surapati meninggal tahun 1705 dengan luka serius akibat pertempuran pamungkasnya. Namun api pemberontakan tidak padam. Estafet perlawanan dilanjutkan keturunan dan para pengikutnya.
Seperti kakeknya, di depan Belanda, Bupati Lumajang Kartanagara yang merupakan cucu Surapati muncul sebagai pemberontak. Bersama saudaranya Bupati Malang Malayakusuma, Kartanagara memilih bersekutu dengan Singasari atau Prabujaka, anak Amangkurat IV (1719-1726) yang menolak pembagian kerajaan Jawa. Usulan membelah kerajaan yang pada tahun 1755-1757 berhasil dilaksanakan (Perjanjian Giyanti), datangnya dari Belanda.
Pangeran Singasari memilih keluar istana dan memberontak. Mangkubumi dan Raden Mas Sahid (Mangkunegara), dua saudaranya yang didukung Belanda, dia lawan. Dia mengajaknya serta putranya bernama Raden Mas ke Malang untuk berkoalisi dengan Bupati Malang Malayakusuma.
Kolaborasi antara Pangeran Mataram Singasari dengan keturunan Surapati membuat Belanda ketar-ketir. Tidak hanya berhadapan dengan pasukan Pangeran Mataram Singasari, ekspedisi militer Belanda juga akan menghadapi kekuatan trah Surapati yang berkuasa di wilayah Lumajang, Malang, Antang (Ngantang) dan Porong.
"Kolaborasi antara Singasari dan Malayakusuma di Malang sebenarnya adalah kebangkitan kembali aliansi lama antara kedua keluarga yang telah dijalin sejak enam puluh tahun sebelumnya," kata Sri Margana dalam buku "Ujung Timur Jawa, 1763- 1813 Perebutan Hegemoni Blambangan".
Editor : Maria Christina
Artikel Terkait