Wakil Ketua Komisi E DPRD Jatim ini mendesak pemerintah dan aparat penegak hukum menegakkan undang-undang yang mengatur tentang perlindungan perempuan dan anak.
"Kami mengimbau semua pihak, pemerintah dan non pemerintah untuk menggencarkan upaya pencegahan dengan berbagai respon program yang tersistem dan terukur capaiannya," katanya.
Hikmah juga membeberkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jatim masih cukup tinggi. Meski dalam data Simfoni PPA Jatim ada penurunan kasus, di mana ada 924 di tahun 2020, lalu 901 di tahun 2021 dan 826 di tahun 2022.
"Fenomena terakhir yang menyita perhatian publik adalah tingginya angka perkawinan anak di Jatim dan kekerasan di pesantren dan sekolah berasrama. Berdasarkan data dari Pengadilan Tinggi Agama Jatim, tercatat 17.585 pengajuan dispensasi pernikahan anak, dan 80 persen-nya disebabkan hamil di luar nikah," ujarnya.
Oleh karena itu, Gerakan Peduli Perempuan Dan Anak Jatim meminta pemerintah agar menguatkan pengasuhan bersama berbasis masyarakat. Kemudian perlunya literasi media sosial bagi anak dan keluarga.
"Lalu penguatan kelembagaan keluarga dengan program ketahanan keluarga, baik di bidang pemberdayaan ekonomi, peningkatan status kesehatan dan pendidikan dan lain-lainnya. Lalu pencegahan perkawinan anak dengan ketat, dan menjaga pasutri anak dari perceraian dini dan KDRT," katanya.
"Membangun lingkungan pendidikan yang menyamankan bagi anak dan menjunjung tinggi hak anak, termasuk di pesantren, khusus di pesantren dapat dicontohkan gerakan yang dilakukan oleh PW RMI NU Jatim bersama dengan DPW Perempuan Bangsa Jatim yang membangun satuan tugas pesantren ramah santri," katanya.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait