“Pencegahan perkawinan anak perlu dilakukan secara kolaboratif dan terintegratif, kehadiran dan komitmen BKOW merupakan upaya untuk memastikan tidak ada satu pun anak yang tertinggal atau kita kenal sebagai no child left behind”,” kata Arie.
Ia juga menambahkan upaya pencegahan perkawinan anak sejalan dengan pencapaian SDG Tujuan ke-5 untuk penghapusan perkawinan anak dan Tujuan ke-16 untuk Perlindungan Anak.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jika masalah perkawinan anak di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur berhasil diselesaikan, maka sama halnya pemerintah berhasil menekan hampir 50 persen beban kasus perkawinan usia anak secara nasional.
“Di Provinsi Jawa Timur Jatim sebanyak 12,71 persen anak perempuan usia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Selama Masa Pandemi COVID-19, situasi perkawinan anak di Indonesia semakin tidak dapat dihindari,” ucapnya.
Di Indonesia, perkawinan anak akan berdampak terhadap tingkat pendidikan. Anak perempuan yang menikah sebelum berusia 18 tahun berpeluang empat kali lebih rendah untuk menyelesaikan pendidikan menengah atau setara.
Kemudian perkawinan anak akan menyebabkan kerugian ekonomi setidaknya 1,7 persen dari PDB di Indonesia. Berdasarkan data kementerian PPPA, 40 persen anak yang dilahirkan karena kasus perkawinan anak berisiko stunting.
Editor : Rizky Agustian
Artikel Terkait