MALANG, iNews.id - Koalisi Masyarakat Sipil meminta majelis hakim sidang Tragedi Kanjuruhan untuk bersikap adil dengan memberikan vonis seberat-beratnya terhadap para terdakwa. Sebab, Tragedi Kanjuruhan itu menyebabkan 135 orang meninggal dunia.
"Kami mendesak majelis hakim untuk menjatuhkan vonis seberat-beratnya dan seadil-adilnya demi diwujudkannya keadilan bagi keluarga korban," kata Koordinator LBH Pos Malang Daniel Siagian di Kantor PCNU Kota Malang, Senin (27/2/2023).
Daniel menjelaskan, ada kejanggalan dari tuntutan yang diberikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada lima terdakwa. Dua terdakwa yakni, Abdul Haris selaku Ketua Panpel Arema FC dan Suko Sutrisno selaku Sekuriti Officer, dituntut hukuman pidana enam tahun delapan bulan penjara.
Sedangkan tiga terdakwa lainnya yakni AKP Hasdarmawan, Kompol Wahyu Eko Pranoto dan AKP Bambang Sidik, dengan tuntutan tiga tahun penjara. Koalisi Masyarakat Sipil menilai, ada perbedaan menonjol terhadap tuntutan tersebut.
"Kami menilai ada disparitas yang sangat jauh antara dua terdakwa panpel beserta security officer dengan tiga terdakwa dari pihak kepolisian," ujarnya.
Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri atas LBH Pos Malang, LPBH-NU Kota Malang, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan LBH Surabaya, telah mealkukan pemantauan terhadap jalannya proses persidangan sejak 20 Januari 2023.
Daniel menjelaskan, mencermati jalannya persidangan yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Surabaya, Koalisi Masyarakat Sipil mencatat ada sejumlah kejanggalan. Sejumlah kejanggalan itu antara lain adalah ada pembatasan media massa untuk tidak melakukan siaran langsung.
Menurutnya, kejanggalan lain dalam persidangan itu adalah termasuk pengalihan proses persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, mengingat kejadian Tragedi Kanjuruhan berada di Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Kemudian, lanjutnya, diterimanya perwira aktif anggota kepolisian sebagai penasehat hukum bagi tiga terdakwa, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan puluhan saksi yang dihadirkan mayoritas berasal dari pihak kepolisian.
"Hal tersebut dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan bertetangan dengan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2002 tentang Polri," bebernya.
Daniel juga menyayangkan banyaknya saksi yang dihadirkan justru dari anggota kepolisian, baik yang dihadirkan JPU dan kuasa hukum terdakwa. Mereka anggota kepolisian itu bertugas di jajaran Polda Jawa Timur dan Polres Malang.
Editor : Kastolani Marzuki
Artikel Terkait