Panggilan “mak” juga berlaku di wilayah Mojokerto-Jombang hingga Kediri-Nganjuk yang kemungkinan disebarkan oleh Raden Abu Hurairah, sepupu Sunan Ampel yang bermukim di Mojoagung (Wirasaba).
Dalam perkembangannya, yakni dibawa oleh Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Raden Patah, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, dan Sunan Gunung Jati, panggilan “mak” meluas di sepanjang Pantai utara Jawa hingga ke daerah Jawa Barat.
“Di daerah Surabaya dan sekitarnya, tempat Sunan Ampel penduduk memanggil ibunya dengan sebutan “mak”,” demikian dikutip dari buku Atlas Wali Songo (2016).
Begitu juga dalam menyebut orang-orang yang dianggap lebih tua. Orang-orang Campa biasa memakai sebutan “kak” atau “kang”, yakni sebagaimana kebiasaan yang dilakukan Sunan Ampel.
Sementara masyarakat Majapahit terbiasa menyebut orang yang lebih tua dengan sebutan “raka”. Kemudian untuk memanggil orang yang lebih muda, Sunan Ampel terbiasa menyebut “adhy”. Panggilan “adhy” secara perlahan menggeser panggilan “rayi” yang biasa diucapkan masyarakat Majapahit.
“Orang-orang Campa menyebut anak laki-laki kecil dengan sebutan “kachoa” atau “kachong”, sedangkan orang Majapahit menyebut “rare”.
Kebudayaan Campa yang dibawa Sunan Ampel juga merambah ke wilayah kepercayaan terhadap alam gaib atau segala sesuatu yang bersifat tahayul atau mitos.
Soal makhluk halus, orang Majapahit mempercayai adanya makhluk-makhluk setengah dewa, yakni seperti yaksha, raksasa, gandarwa, butha, mahakala, hingga sang magawai kedhaton (arwah leluhur yang melindungi bumi dan keraton).
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait