SURABAYA, iNews.id - Hari Pahlawan 10 November tak hanya menyisahkan cerita perjuangan berdarah. Ada dua sosok yang menjadi seperti dua sisi keping uang dalam menentukan ruang perjuangan di Kota Surabaya.
Ada Kolonel Sungkono yang militan tak kenal lelah menebar agitasi ke kampung-kampung untuk melawan. Di kepingan perjuangan lainnya, Bung Tomo masuk ke telingga para pejuang lewat udara. Suaranya nyaring dengan letupan semangat dan heroisme untuk terus berjuang.
Dia piawai membakar semangat warga Surabaya di masa pertempuran. Usai perang Surabaya, Bung Tomo ditarik ke Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat. Dia juga diberikan pangkat militer Jenderal Mayor.
Dua sisi keping mata uang itu menjalankan fungsinya. Mereka mampu mengecoh sekutu, menjadikan Surabaya benar-benar membara dan kobaran perjuangan sampai sekarang belum padam. Dari radio, Bung Tomo mengerakan ribuan anak muda untuk angkat senjata.
Suara sinyal radio yang belum jernih masih menangkap lantang suara Bung Tomo. Para arek-arek Suroboyo yang masih muda mendekatkan telingganya ke tepi radio, mendengarkan dengan seksama.
"Bismillahirrohmanirrohim..Merdeka!!! Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya. Kita semuanya telah mengetahui. Bahwa hari ini tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua.
Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan, menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara Jepang. Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan. Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera putih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka," kata Bung Tomo dalam seruannya.
Saat Bung Tomo mengudara dengan lantangnya di udara, darah arek-arek Surabaya sudah mendidih di sepanjang petang sampai dini hari. Suara senapan dan riak kecil pengepungan sudah dilakukan sekutu pada 9 November 1945. Arek-arek Suroboyo sudah berkumpul, membunuh dinginnya malam sambil menunggu seruan untuk bergerak. Perkampungan kecil dipadati para gerilyawan, berbagai pasang mata tetap terjaga, menunggu tank lewat dan menyergapnya dengan kilat.
Kolonel Sungkono, seorang pria yang waktu itu masih berusia 31 tahun masuk ke kampung-kampung untuk mengumpulkan pejuang. Suara seraknya seperti mau marah, memukul gerbang-gerbang rumah dengan semangatnya. Mereka diajak berkumpul di ujung pintu Markas Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jalan Pregolan 4, Surabaya.
Editor : Donald Karouw
Artikel Terkait