Setelah momen Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Hamid Rusdi direkrut menjadi Badan Keamanan Rakyat atau yang saat ini disebut TNI. Selama karier militernya, Hamid Rusdi mendapatkan pangkat Letnan Kolonel.
Namun pada 1948, atas alasan efisiensi keuangan negara, pangkatnya turun menjadi Mayor. Setahun berselang Hamid Rusdi kembali ikut dalam pertempuran Agresi Militer Belanda II.
Pada pertempuran ini Hamid Rusdi memimpin kelompok pejuang bernama Gerilya Rakyat Kota (GRK). Dari kelompok inilah bahasa walikan atau bahasa terbalik mulai digunakan. Tujuannya yakni untuk mengelabui mata-mata dari Belanda.
"Jadi contohnya apabila ingin bicara bagus sekali atau apik sekali diganti jadi kipa ilakes. Bahasa walikan ini untuk mengelabui Belanda saat itu," ucap pria yang pernah menjabat sebagai sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB).
Pada Agresi Militer Belanda II ini Hamid Rusdi gugur di tangan penjajah pada 8 Maret 1949. Ia terkena tembakan pasukan kolonial di pinggir sungai di Wonokoyo, Kedungkandang. Hamid Rusdi meninggal dunia pada usia 38 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Suropati, Kota Malang pada akhir 1949.
Kini nama Hamid Rusdi diabadikan di Kota Malang menjadi nama jalan, terminal, hingga monumennya dibangun di Jalan Simpang Balapan, dekat Jalan Besar Ijen, Lowokwaru, Malang.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait