Keesokan hari (17 Desember) pada pagi buta, sebagian besar tentara Ronggo menyelinap masuk ke hutan sekitar, hanya meninggalkan deputi Sumonegoro dan patih Mas Ngabehi Puspodiwiryo serta pembawa panji-panji dan payung di tempat pertempuran. Bupati Wirosari Raden Tumenggung Yudokusumo, yang menyertai pasukan Leberveld, menanyakan kepada Raden Ronggo apa yang dia kehendaki setelah tembak-menembak terjadi antara Raden Ronggo, dan pasukannya melawan pasukan Leberveld.
Raden Ronggo menjawab bahwa dia tidak mau menyakiti orang Jawa dan hanya ingin membunuh semua orang yang menjadi beban bagi masyarakat Jawa dan Tionghoa di wilayah timur. Mereka tidak lain yakni pemerintah kolonial dan orang-orang Jawa yang berpihak kepada pemerintah Belanda.
Raden Ronggo meloncat turun dari kudanya dan mencoba menyerang pasukan Leberveld setelah mengatakan kehendaknya. Sumodiwiryo, seorang mantan Bupati Mancanegara Timur dan pejabat senior Bupati Miji Yogyakarta, berhasil melukai Raden Ronggo di bagian dada saat pertempuran.
Leberveld memerintahkan para serdadunya menyerang dan menghabisi Raden Ronggo. Deputi pasukan Raden Ronggo, Sumonegoro, bernasib sama, yaitu ditembak dengan bedil lantak oleh Bupati Wirosari, kemudian ditikam sampai tewas oleh prajurit tersebut. Keduanya pun gugur usai dihabisi di tepi Sungai Bengawan Solo.
Patih Mas Ngabehi Puspodiwiryo merupakan satu-satunya pengiring Raden Ronggo yang berhasil selamat meski mengalami luka. Dia berhasil lari dengan membawa panji dan payung.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait