"Salah satunya yang dipilih adalah emas, intan, permata yang mempunyai nilai kekuatan dan keabadian," kataya.
"Karena harapannya ketika bangunan itu dibangun, itu ada nilai keabadian, tidak dibongkar, sehingga ditempatkanlah beberapa barang benda berharga di situ untuk memberikan satu kekuatan, yang dipercayai sebagai kekuatan, maupun nilai-nilai magis di dalam bangunan itu sendiri. Kalau saat itu (ukuran emasnya) nggak tahu caranya berapa, kalau peningset itu disimpan, nggak banyak orang tahu," jelasnya.
Penanaman kotak yang konon perhiasan emas inilah yang disebut pria yang pernah menjabat sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB), sebagai bagian kepercayaan layaknya nenek moyang terdahulu. Saat itu memang orang Jawa kalau mau membangun rumah atau bangunan apapun harus menanam sesuatu berupa sesajen.
"Ketika membangun jembatan kepala kerbau ditanam di jembatan itu, ya tujuannya sebagai menetralisir hal-hal yang kurang baik, dan mengharapkan kepada Tuhan Yang maha esa bangunan ini abadi dan mempunyai manfaat terhadap masyarakat sekitar," katanya.
Bahkan konon emas dan segala perhiasan itu sudah ada saat Bundaran Tugu Malang saat peristiwa Malang Bumi Hangus, yang terjadi di tahun 1947.
Editor : Nur Ichsan Yuniarto
Artikel Terkait