Menurut dia, ini terbukti karena dalam pemilu yang lalu bangsa ini hanya sanggup memunculkan dua pasang calon. Konsekuensinya, terjadi pembelahan politik dan polarisasi begitu kuat di akar rumput yang masih dirasakan hingga detik ini. Keadaan itu sangat tidak produktif bagi perjalanan bangsa dan negara ini.
“Dampak kedua, presidential threshold mengerdilkan potensi bangsa. Karena sejatinya negeri ini tidak kekurangan calon pemimpin kompeten. Tetapi, kemunculannya digembosi aturan main yang sekaligus mengurangi pilihan rakyat untuk menemukan pemimpin terbaiknya. Semakin sedikit kandidat yang bertarung, akan semakin mengecilkan peluang munculnya pemimpin terbaik,” katanya.
Presidential threshold pun dianggap berpotensi memundurkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Hal ini lantaran pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih.
La Nyalla menilai, peluang pemilih untuk tidak memilih alias golput menjadi tinggi karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket untuk maju. Kedaulatan rakyat melemah digerus kedaulatan partai yang semakin menguat.
“Dampak keempat, partai kecil cenderung tak berdaya di hadapan partai besar terkait keputusan tentang calon yang akan diusung bersama. Padahal sejatinya, partai politik didirikan untuk mengusung kadernya agar bisa tampil menjadi pemimpin nasional,” kata La Nyalla.
Adanya aturan ambang batas capres dianggap menutup peluang kader partai politik kecil untuk tampil di gelanggang pilpres. Sebab, hanya partai politik besar atau gabungan partai politik yang bisa mengusung capres dan cawapres. Apalagi, dalil bahwa presidential threshold dikatakan untuk memperkuat sistem presidensil agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah.
“Karena partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih. Akibatnya yang terjadi bagi-bagi kekuasaan dan DPR menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Inilah persoalan yang sebenarnya ada di hulu, bukan di hilir,” katanya.
Menurut La Nyalla, berkongsi dalam politik memang sesuatu yang lumrah. Namun, ini akan menjadi jahat ketika kongsi dilakukan dengan mendesain hanya agar ada dua pasang kandidat capres-cawapres yang bisa benar-benar berlawanan dan memecah bangsa, atau sebaliknya bisa pula seolah-olah berseteru.
“Aturan presidential threshold bisa membuka peluang menuju dua kemungkinan itu, terlebih ketika oligarki semakin menguat. Didukung jaringan dan sokongan finansial, oligarki bisa mengatur permainan politik di dua kubu bersebelahan,” katanya.
Editor : Maria Christina
Artikel Terkait