Puncak kejayaan Kayutangan terjadi sekitar tahun 1930–1940. Saat itu, perekonomian Belanda kembali bangkit. Hal ini terjadi setelah tahun 1930, Belanda mengalami depresi ekonomi yang menyebabkan keuangan Belanda terguncang, yang berimbas pada pembangunan Kota Malang yang terbengkalai.
"Puncak kejayaan kawasan 1930-1940 karena pembangunan kota baru selesai 1930, itu baru selesai karena Belanda punya banyak duit, dagangannya agak lancar, tahun 1930 kena depresi ekonomi dunia berhenti," katanya.
Di kawasan ini arus berdagangan barang cukup masif, barang–barang ini diangkut menggunakan trem dan mobil bak terbuka semacam pick-up. Tetapi ada juga kendaraan tradisional seperti cikar dan dokar yang masuk ke tengah kota, untuk mengangkut barang–barang dari kawasan Kayutangan.
Pada masa Malang Bumi Hangus, wilayah ini karena dianggap oleh para pejuang cukup berbahaya karena dapat dikuasai lagi oleh Belanda dan sekutu maka beberapa bangunan juga dihancurkan dan dibakar. Daerah ini bersama beberapa daerah yang dianggap dikuasai Belanda pada saat itu cukup banyak dihancurkan dan berantakan.
Setelah kondisi lebih damai dan stabil, kompleks pertokoan Kayutangan kembali ramai dan semarak. Pada kisaran 1960-1980-an, kompleks pertokoan di Kayutangan merupakan salah satu pusat keramaian yang cukup utama di wilayah Malang selain daerah Pasar Besar. Keramaian itu juga diimbangi dengan keindahan karena penataan jalan yang cukup baik dan serupa pada masa Hindia Belanda.
Kegemilangan wilayah Kayutangan sebagai sentra pertokoan mulai perlahan meredup pada media 1990-an, berkembangnya berbagai pusat perbelanjaan serta wilayah Malang yang semakin meluas mengakibatkan wilayah ini semakin ditinggalkan. Pada saat ini hal itu semakin gencar terjadi, banyak toko-toko lama yang sudah mulai tutup dan bahkan beberapa bangunan lama bersejarah telah dibongkar dan digantikan dengan gedung-gedung tinggi yang mulai bertambah.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait