MALANG, iNews.id – Kayutangan merupakan salah satu kawasan heritage di Kota Malang yang menumental. Dibangun sejak era Penjajah Belanda, tempat ini menjadi pusat perdagangan dan binis dari dulu hingga sekarang.
Karena itu, kawasan ini ditata sedemikian rupa oleh Belanda demi menghasilkan cuan untuk menghidupi perputaran dan pajak kas negara kala itu.
Kini kawasan Kayutangan masih tetap difungsikan sebagai kawasan heritage dan perdagangan. Beberapa pertokoan masih tampak seperti zaman dahulu, tetapi memang peremajaan dan rekonstruksi menjadikan Kayutangan heritage tampak lebih segar.
Pada “Potensi Kampung Kayutangan Heritage” yang disusun oleh Prof Lalu Mulyadi, Ir Budi Fathony dan Ester Prikasari, pusat perdangan itu disebut kayutangan karena wilayah ini terkenal subur hingga menyerupai alas tau hutan. Maklum, wilayah tersebut diapit dua sungai yakni Sungai Sukun dan Sungai Brantas, sehingga tumbuh tanaman yang lebat, salah satunya pohon tangan.
Disebut pohon (wit) tangan karena daun–daunnya menyerupai jari–jari tangan yang mengembang. Ada kecenderungan jumlah percabangan daunnya empat (pat, patang). Sebutan untuk pohon tegak, yang batangnya keras atau cukup keras dalam bahasa Jawa adalah “kayu”. Karenanya pohon ini mendapat sebutan “Kayu Tangan”.
Ketika masih merupakan areal hutan, di sekitar Koridor Kayutangan tumbuh cukup banyak pohon (kayu) tangan tersebut. Hal inilah yang kiranya menjadi latar adanya sebutan Jalan (Koridor) Kayu Tangan bila ditulis dengan ejaan van Opoesen “Kajoe”.
Unsur sebutan “Tangan” dari pohon itu kedapatan dipakai juga sebagai unsur nama desa sekaligus kecamatan di sub-area timur Tulungagung yaitu Rejotangan (rejo-pangan). Di samping itu, areal di samping utara belakang Pasar Wage di Desa Kenayan Kabupaten Tulungagung juga memiliki unsur nama “Tangan” yakni Jotangan (kata “jo” boleh jadi adalah akronim dari rejo).
Dengan demikian, pohon “Kayu Tangan” sebagaimana dikutip dari buku “Potensi Kampung Kayutangan Heritage” amat mungkin pada masa lampau tumbuh di berbagai tempat di Jawa, antara lain di Malang dan Tulungagung. Unsur namanya sering digunakan untuk menamai sebuah desa atau dusun yang bersumber pada nama-nama pohon atau kayu yang banyak tumbuh di areal tersebut.
Dengan kata lain, “Kayu Tangan” pada konteks ini adalah sebuah toponimi, yakni nama yang memberi gambaran ekologis masa lalu pada area bersangkutan.
Sejarawan Universitas Negeri Malang (UM) Reza Hudiyanto menyebut, Kayutangan oleh Belanda dikonsep layaknya kota–kota di Eropa dengan ciri khas yang unik dan berbeda dengan kawasan kota – kota lainnya. Hal ini menjadikan antara etalase toko dengan jalan di Kayutangan cukup dekat.
"Konsep etalase memajang barang yang ada di trotoar, jadi dibuat sedekat mungkin toko itu dengan trotoar, itu seperti di Ho Chi Min city memang dibangun Prancis untuk itu. Ciri khas kota-kota di Eropa jalan trotoar kan sekalian bisa lihat," ucap Reza.
Pembangunanya pun dibuat berbeda dengan kawasan perkotaan lainnya di era Belanda. Bila beberapa bangunan yang didirikan Belanda, menghadap ke sudut jalan pintunya. Kawasan Kayutangan dibangun menyesuaikan bentuk jalan memanjang dengan jarak antara jalan dan toko yang dekat.
"Bentuknya gini ngikuti jalan, karena Kayutangan konsep kawasan bisnis perdagangan, tidak bisa menggunakan rumus kawasan perumahan. Kalau Splendid Inn satu kawasan permukiman bisa, harus ada space untuk taman, ada jarak antara jalan dengan titik terluar dari rumah. Jadi biasanya seperti itu, peraturan pemukiman dengan perdagangan lain berbeda," tuturnya.
Berbeda dengan kawasan perdagangan Pecinan di sisi selatan Kota Malang, Kayutangan disebut Reza lebih mengakomodir kepentingan kaum borjuis dan saudagar kaya Eropa. Barang yang dijual pun harganya lebih mahal dan berkelas.
Bila di kawasan Pecinan, beberapa barang seperti sepeda, furniture, permata dijual, di Kayutangan juga menjual barang yang sama tetapi dengan harga dan kualitas yang jauh lebih bagus.
"Kalau Kayutangan relatif lebih banyak yang untuk pasarnya orang Eropa, meski di Pecinan juga ada barang-barang tertentu, jualan barang-barang yang sangat mahal, seperti furniture, permata, tapi di Kayutangan barangnya lebih mahal lagi," tuturnya.
Barang–barang elektronik, otomotif, hingga peralatan rumah tangga berkualitas dengan harga mahal, menjadi salah satu komoditi Kayutangan di masa lalu. Barang–barang ini menjadi salah satu incaran para saudagar kaya dan crazy rich Belanda dan beberapa warga Eropa lainnya yang berada di Kota Malang saat ini.
"Jadi barangnya luxury (mewah), ada sepeda, ada suku cadang mobil Chevrolet, Ford, ada piano, alat-alat musik, arloji, buku. Kalau permata bukan di situ, di Jalan Gatot Subroto," ujarnya.
Puncak kejayaan Kayutangan terjadi sekitar tahun 1930–1940. Saat itu, perekonomian Belanda kembali bangkit. Hal ini terjadi setelah tahun 1930, Belanda mengalami depresi ekonomi yang menyebabkan keuangan Belanda terguncang, yang berimbas pada pembangunan Kota Malang yang terbengkalai.
"Puncak kejayaan kawasan 1930-1940 karena pembangunan kota baru selesai 1930, itu baru selesai karena Belanda punya banyak duit, dagangannya agak lancar, tahun 1930 kena depresi ekonomi dunia berhenti," katanya.
Di kawasan ini arus berdagangan barang cukup masif, barang–barang ini diangkut menggunakan trem dan mobil bak terbuka semacam pick-up. Tetapi ada juga kendaraan tradisional seperti cikar dan dokar yang masuk ke tengah kota, untuk mengangkut barang–barang dari kawasan Kayutangan.
Pada masa Malang Bumi Hangus, wilayah ini karena dianggap oleh para pejuang cukup berbahaya karena dapat dikuasai lagi oleh Belanda dan sekutu maka beberapa bangunan juga dihancurkan dan dibakar. Daerah ini bersama beberapa daerah yang dianggap dikuasai Belanda pada saat itu cukup banyak dihancurkan dan berantakan.
Setelah kondisi lebih damai dan stabil, kompleks pertokoan Kayutangan kembali ramai dan semarak. Pada kisaran 1960-1980-an, kompleks pertokoan di Kayutangan merupakan salah satu pusat keramaian yang cukup utama di wilayah Malang selain daerah Pasar Besar. Keramaian itu juga diimbangi dengan keindahan karena penataan jalan yang cukup baik dan serupa pada masa Hindia Belanda.
Kegemilangan wilayah Kayutangan sebagai sentra pertokoan mulai perlahan meredup pada media 1990-an, berkembangnya berbagai pusat perbelanjaan serta wilayah Malang yang semakin meluas mengakibatkan wilayah ini semakin ditinggalkan. Pada saat ini hal itu semakin gencar terjadi, banyak toko-toko lama yang sudah mulai tutup dan bahkan beberapa bangunan lama bersejarah telah dibongkar dan digantikan dengan gedung-gedung tinggi yang mulai bertambah.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait