Djody yang terjerat perkara penyelewengan (gratifikasi) dijatuhi vonis hukuman satu tahun penjara. Namun ahli hukum yang juga Ketua Umum Partai Rakyat Nasional (PRN) itu, kemudian diberi grasi Bung Karno. Bung Hatta tak bisa memahami jalan pikiran Bung Karno.
Silang pendapat antara Bung Karno dan Bung Hatta juga muncul dalam masalah Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Pada tahun 1956 rapat DPR menghasilkan kesepakatan menyetujui terbitnya RUU tentang pembatalan perjanjian KMB. Perjanjian KMB dinilai tidak menguntungkan kedaulatan Indonesia.
Mahkamah Agung berpendapat keputusan rapat DPR tersebut sah secara konstitusi. Namun Presiden Soekarno menolak menandatangani penerbitan RUU. "Desakan Hatta sebagai Wakil Presiden agar Presiden Soekarno menandatangani RUU tersebut tidak dipedulikan," kata Deliar Noer.
Riak-riak ketidaksepahaman pikiran Dwitunggal sebetulnya sudah tampak sebelum pelaksanaan Pemilu 1955. Jauh hari sebelum kampanye pemilihan umum digelar, Presiden Soekarno ikut berkampanye. Bung Karno yang tidak berpartai dan juga tidak dicalonkan dalam pemilu, berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan, tahun 1953. Isi kampanyenya mengajak rakyat menolak gagasan negara Islam.
Bagi Hatta hal itu kurang tepat. Dalam sistem kabinet parlementer. Apa yang dilakukan kepala negara dan wakil kepala negara tidak hanya harus diketahui dan disetujui kabinet. Tapi juga harus sejalan dengan kebijaksanaan kabinet. Sementara Bung Karno dianggap lebih suka memposisikan diri sebagai pemimpin rakyat dari pada Presiden konstitusional.
Bung Karno lebih suka berbicara atau berpidato langsung dengan rakyat di dalam rapat-rapat umum yang itu seakan lebih utama dari pada berpidato di depan DPR. Bung Karno juga dianggap kerap memasuki urusan yang menjadi wilayah kabinet. Dia pernah menuntut agar disetujui membakar semangat rakyat dalam menghadapi masalah Irian tahun 1950-1951.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait