SURABAYA, iNews.id - Presiden Soekarno dan Bung Hatta terkenal dekat hingga mendapat sebutan Dwitunggal. Namun, pada masa demokrasi parlementer, pemikiran Bung Karno dan Bung Hatta tak lagi sejalan dan bahkan kerap berselisih paham.
Peristiwa pemecatan Sosrodanukusumo pada tahun 1955 oleh Kabinet Ali Sastroamidjojo I salah satunya. Tanpa berembuk dulu dengan Bung Hatta, Bung Karno tiba-tiba menandatangani surat pemecatan yang sudah disetujui Kabinet Ali.
Hatta menyesali langkah itu. Soekarno menurutnya tidak melakukan pemeriksaan terlebih dahulu. Didorong semangat meletakkan aturan pada tempatnya, pada 25 Maret 1955 Bung Hatta berkirim surat kepada Bung Karno. Inti surat yakni mempertanyakan penandatanganan sekaligus mengingatkan arti Dwitunggal.
"Kalau Saudara memandang Dwitunggal-yang begitu banyak dibicarakan di waktu akhir ini-lebih dari show saja. Sebenarnya dalam hal-hal yang mengenai dasar-dasar negara Saudara sepatutnya berembuk dengan saya lebih dahulu, sebelum mengambil tindakan," demikian isi surat Bung Hatta seperti dikutip dari buku Deliar Noer, "Mohammad Hatta, Biografi Politik".
Kepada Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, Bung Hatta juga meminta dilakukannya peninjauan ulang, karena alasan prosedur pemecatan yang tak wajar. Hatta menghubungkan pemecatan Sosrodanukusumo dengan prikemanusiaan dari Pancasila.
Bagi Hatta, pemecatan seorang pegawai tinggi, walau mengenai seseorang, hal itu sudah menyangkut dasar negara. Pada perkara Djody Gondokusumo, Menteri Kehakiman (1953-1955) di era Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Bung Karno dan Bung Hatta juga kembali berselisih paham.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait