Tidak hanya meragukan proklamasi kemerdekaan. Di lingkungan pangreh praja tidak sedikit juga yang menyatakan penolakan. Sampai awal tahun 1946, kecamuk pro kontra Proklamasi Kemerdekaan terus bergulir, salah satunya datang dari Mr Mas Slamet.
Mas Slamet merupakan pejabat Adjunt Inspecteur van Financien atau Ajun Pemeriksa Keuangan di Kantor Keuangan Jakarta pada era Belanda. Begitu Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 berkumandang, dan kekuasaan beralih ke tangan pejuang republik, karir Mas Slamet luluh lantak.
Seperti dikutip Pewarta Deli 21 Januari 1946, Mas Slamet terang-terangan mengatakan: Kalau Indonesia tetap merdeka, saya akan berangkat ke negeri Belanda. Saya maju karena Belanda. Karena pernyataannya itu, para pejuang republik murka. Mas Slamet sempat diculik dan dikurung selama dua bulan.
Dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, Sejarawan M. C Ricklefs menyebut, "Banyak raja dan kaum ningrat yang didukung Belanda dan mendapatkan kekayaan darinya, tak mengakui kemerdekaan Indonesia". Bagi para pejuang republik, semua yang kontra proklamasi kemerdekaan merupakan penghalang revolusi Agustus.
Di daerah-daerah mereka pun terus bergerak. Menyusul Proklamasi Kemerdekaan, Komite Nasional Indonesia (KNI) didirikan di daerah-daerah. Pendirian KNI diinisiasi kelompok pejuang Menteng 31 yang berandil penuh dalam peristiwa Rengasdengklok.
Prinsipnya, Proklamasi Kemerdekaan harus segera didengar rakyat. Bendera merah putih harus segera berkibar di mana-mana. Para penghalang jalan revolusi, yakni terutama pangreh praja yang enggan mengumumkan Proklamasi Kemerdekaan, dioperasi.
Editor : Ihya Ulumuddin
Artikel Terkait