Warga Eks Lokalisasi Dolly Gugat Pemkot Surabaya Rp2,7 Triliun
SURABAYA, iNews.id – Puluhan warga eks lokalisasi Dolly menggugat Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya Rp2,7 triliun. Gugatan perdata itu dilayangkan untuk meminta ganti rugi atas kerugian materiel dan immateriel dari penutupan lokalisasi terbesar di Indonesia tersebut.
Pantauan iNews, mereka mendatangi Kantor Pengadilan Negeri (PN) Surabaya di Jalan Arjuno, untuk mendaftarkan gugatan, Selasa (23/7/2018). Warga yang tergabung dalam Komunitas Pemuda Independen (KOPI) dan Front Pekerja Lokalisasi (FPL) itu juga menggelar unjuk rasa.
Sebagian dari massa membentangkan spanduk putih bertuliskan ‘Stop Intimidasi dan Diskriminasi serta Kembalikan Hak Sumber Perekonomian Warga Jarak Dolly’. Mereka tampak menggunakan masker bertuliskan ‘bisu’. Sebagian dari peserta aksi bahkan juga membawa serta anak-anaknya.
Kuasa hukum warga eks lokalisasi Dolly Okky Suryatama mengatakan, dalam gugatan ini pihaknya mendesak Pemkot Surabaya memberi ganti rugi atas kerugian materiel dan immateril dari korban penutupan lokalisasi. Nilai tuntutan Rp2,7 triliun itu berdasarkan 1.800 warga eks Dolly yang terkena dampak penutupan lokalisasi dari tahun 2014 hingga 2018.
Tak hanya Pemkot Surabaya, mereka juga menggugat Satuan Polisi (Satpol) Pamong Praja (PP) dan Polrestabes Surabaya. "Ketiga lembaga ini bertanggung jawab atas dampak dan kerugian setelah adanya penutupan lokalisasi Dolly," kata Okky, Senin (23/7/2018).
Juru bicara FPL dan KOPI Saputro menambahkan, selama 3,5 tahun berlalu sejak penutupan lokalisasi Dolly, pemkot menjanjikan membangun pabrik sepatu dan usaha batik. Namun janji akan adanya kesejahteraan pascapenutupan tak ada yang terealisasi. Hingga saat ini, ekonomi warga setempat tak kunjung membaik. Meski sudah berupaya membangun usaha secara mandiri, tapi hasilnya hanya pas-pasan.
Selain tak mendapatkan kesejahteraan, warga juga tidak mendapatkan kompensasi atas penutupan lokalisasi ini. "Sebaliknya, intimidasi pada warga sekitar sering didapatkan, baik setiap hari hingga tiap bulan. Diskriminasi juga dialami warga karena ternyata masih banyak prostitusi terselubung yang berkedok kafe dan warung, masih banyak berdiri di Surabaya," ujarnya.
Editor: Donald Karouw