get app
inews
Aa Text
Read Next : Teks Khutbah Jumat Bahasa Jawa 19 September 2025 Terbaru Bikin Jemaah Menangis

Shalat Jumat 2 Gelombang di Masa New Normal, Ini Hasil Bahtsul Masail PBNU

Kamis, 11 Juni 2020 - 09:02:00 WIB
Shalat Jumat 2 Gelombang di Masa New Normal, Ini Hasil Bahtsul Masail PBNU
Umat Islam menjalankan shalat Jumat perdana di masa new normal pandemi corona. (Foto: Antara)

JAKARTA, iNews.id – Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan pedoman pelaksanaan shalat Jumat di masa new normal. Pedoman tersebut dikeluarkan menyusul wabah corona (Covid-19) yang tak kunjung berakhir.

Pedoman shalat Jumat di masa new normal ini dirumuskan oleh 15 ahli fiqih PBNU dalam forum bahtsul masail. Pedoman ini ditandatangani Ketua LBM PBNU KH M Nadjib Hasan, serta Sekretaris Samidi Husna.

Menurut PBNU di masa pandemi seperti ini, pelaksanaan ibadah perlu menyesuaian diri, sehingga umat muslim tidak terpapar corona, tanpa harus meninggalkan kewajiban beribadah. Sebagaimana kaidah fiqih “mala yudroku kulluhu la yutroku kulluhu (Sesuatu yang tidak bisa dicapai keseluruhannya, maka jangan ditinggal sama sekali)”.

Nah, pada konteks new normal ini, bagaimana pelaksanaan salat Jumat yang meniscayakan berjemaah? Apakah dimungkinkan umat Islam memperbanyak ruang-ruang pelaksanaan salat Jumat dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan? Atau bahkan melaksanakan shalat Jumat secara bergelombang (bergantian).

Atas persoalan itu, LBM PBNU menyampaikan beberapa hal sebagai berikut:
Pada kondisi tertentu, keharusan salat Jumat dilaksanakan sekali di satu tempat di setiap kawasan (Ta’adud Al-Jumat) tidak bersifat mutlak.

Ada beberapa alasan dibolehkannya salat Jumat lebih dari satu kali dan di banyak tempat. Pertama, keterbatasan daya tampung tempat salat Jumat. Kedua, adanya pertikaian yang tidak memungkinkan dilaksanakannya salat Jumat di satu tempat.

Ketiga, jauhnya jarak antara penduduk yang tinggal di ujung sebuah kawasan (balad) dengan masjid yang menjadi tempat salat Jumat, seperti berada di tempat yang tidak terdengar suara azan.

“Pandangan fikih ulama terdahulu ini bisa dijadikan acuan hukum perihal pelaksanaan shalat Jumat di era new normal ini,” kata Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH M Nadjib Hassan.

Secara teknis, lanjut Nadjib, umat Islam juga bisa memanfaatkan musala sebagai tempat shalat Jumat. Sebab, pelaksanaan shalat Jumat tidak harus dilakukan di masjid sebagaimana pendapat mayoritas ulama.

Sementara itu, mengenai boleh tidaknya shalat Jumat dilaksanakan secara bergelombang, menurut Nadjib, ulama berbeda pendapat.

Pendapat pertama membolehkan. Ini dilakukan bila dalam kondisi darurat. Sebab, lokasi shalat Jumat yang ada, hanya menampung sebagian jemaah karena penerapan physical distancing. Di sisi lain, secara riil tidak ditemukan tempat lain untuk shalat Jumat.

Acuan tersebut kata Nadjib bersifat normatif dan umum. Karena itu, untuk melaksanakan salat Jumat bergelombang perlu verifikasi lapangan. Ini untuk memastikan bahwa suatu kawasan sudah memenuhi syarat (darurat).

Pendapat ini (salat Jumat bergelombang), kata Nadjib, juga tetap harus mempertimbangkan dua hal. Pertama, jumlah jemaah yang ikut salat Jumat tidak kurang dari 40 orang. Kedua, jumlah gelombang pelaksanaan salat Jumat harus berdasarkan kebutuhan.

“Artinya, jika salat Jumat cukup dilakukan dua gelombang, maka tidak boleh membuat gelombang ketiga dan seterusnya,” ujaranya.

Sedangkan pendapat kedua, sekiranya ta’ddud al-jum’ah di banyak tempat tak memungkinkan, maka solusinya bukan dengan mendirikan shalat Jumat secara bergelombang di satu tempat. Melainkan mempersilakan umat Islam yang tidak mendapatkan kesempatan shalat Jumat di satu tempat untuk shalat zuhur di rumah masing-masing.

Dengan ini, target pelaksanaan salat Jumat di satu wilayah sudah terpenuhi. Sementara mereka yang tidak kebagian salat Jumat di tempat itu dianggap sebagai orang uzur yang berhak mendapatkan dispensasi hukum.

Pendapat ini didasarkan pada keumuman teks “man lahu ‘udzrun” dalam pernyataan Imam Syafi’i berikut:

“Imam Syafii berkata: ‘Tidak ada kewajiban bagi musafir, hamba sahaya, perempuan, orang yang sakit, dan orang memiliki udzur. Dan jika mereka menghadiri jumatan maka hal itu mencukupi bagi mereka (sah)”.

Nadjib mengatakan, pandangan fikih di atas bisa menjadi acuan umat Islam dalam melaksanakan salat Jumat bagi umat Islam di daerah yang penyebaran virus Covid-19 telah terkendali dan sudah memberlakukan kehidupan new normal.

Namun, bagi umat Islam yang tinggal di zona merah virus covid 19, maka mereka bisa tetap merujuk pada pandangan LBM PBNU sebelumnya, yaitu umat Islam dilarang melakukan aktivitas berkumpul termasuk melaksanakan salat Jumat. Sebab, bisa menyebabkan tersebarnya virus covid 19.

“Sekali lagi, pelarangan bukan pada shalat Jumat. Melainkan pada aktivitas berkumpulnya,” katanya.

Editor: Kastolani Marzuki

Follow Whatsapp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
Lihat Berita Lainnya

iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut